Tantangan dan Solusi Implementasi Tes Kemampuan Akademik Untuk Siswa Kelas 6, 9, 12 Sesuai Keputusan Kemendikdasmen Nomor 059/H/M/2025
Contents [Show Up]
Tantangan dan Solusi Implementasi Tes Kemampuan Akademik Untuk Siswa Kelas 6, 9, 12 Sesuai Keputusan Kemendikdasmen Nomor 059/H/M/2025
I. Pendahuluan
Perubahan dunia pendidikan Indonesia tidak pernah berhenti berdenyut. Salah satu wujud nyata dari semangat transformasi itu adalah penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA) bagi siswa kelas 6, 9, dan 12. Tes ini bukan sekadar deretan soal ujian, tetapi cermin dari kemampuan berpikir, bernalar, dan memaknai pembelajaran secara utuh. Pemerintah melalui Keputusan Kemendikdasmen Nomor 059/H/M/2025 ingin memastikan bahwa setiap siswa Indonesia tidak hanya tahu, tetapi juga paham — benar-benar mengerti mengapa suatu konsep penting dan bagaimana menggunakannya dalam kehidupan nyata.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, TKA memiliki makna yang lebih dalam. Ia bukan lagi menjadi "penentu nasib", tetapi bagian dari perjalanan belajar yang reflektif. Melalui asesmen ini, guru dapat memahami sejauh mana pembelajaran mendalam sudah terwujud di kelas. Sementara siswa belajar menilai dirinya sendiri — bukan untuk membandingkan, tetapi untuk bertumbuh.
Tujuan umum TKA sangat jelas: memastikan kesiapan akademik dan karakter siswa di setiap jenjang akhir. Namun, tujuan spesifiknya lebih menawan — menumbuhkan rasa ingin tahu, kemampuan berpikir kritis, dan kepercayaan diri siswa dalam menghadapi tantangan dunia modern. Setiap butir soal dirancang agar siswa tidak hanya menjawab, tetapi juga berpikir tentang bagaimana ia berpikir.
Dan di sinilah pentingnya pembelajaran mendalam. Ia menjadi jantung dari seluruh proses penilaian, baik formatif maupun sumatif. Dengan pendekatan ini, TKA bukan lagi sekadar “ujian akhir”, tetapi cermin proses belajar yang memerdekakan: memahami, merefleksi, dan menerapkan.
II. Landasan Hukum dan Kebijakan
Keputusan Kemendikdasmen Nomor 059/H/M/2025 menjadi tonggak penting dalam sistem asesmen nasional. Dokumen ini menjabarkan ruang lingkup, sasaran, dan tujuan pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik bagi siswa di jenjang akhir sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas. Ia bukan peraturan yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari upaya besar menata ulang sistem penilaian yang lebih adil, kontekstual, dan manusiawi sesuai arah Kurikulum Merdeka.
Jika ditelusuri, regulasi ini merupakan kelanjutan dari kebijakan asesmen nasional sebelumnya. Bedanya, TKA kini lebih menekankan pada kemampuan berpikir mendalam dan penguasaan kompetensi lintas disiplin. Jadi, yang diukur bukan hafalan, melainkan sejauh mana siswa mampu menalar, mengaitkan ide, dan menerapkan konsep dalam situasi nyata.
Prinsip Merdeka Belajar menjadi jiwa dari kebijakan ini. Pemerintah ingin memberi ruang seluas-luasnya bagi sekolah untuk menyesuaikan pelaksanaan TKA dengan karakter peserta didik dan konteks lokal. Guru menjadi fasilitator refleksi, bukan hanya penguji. Hasil TKA kemudian digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki strategi pembelajaran, bukan sebagai alat pembanding antar sekolah.
Secara administratif, keputusan ini juga menuntut kesiapan dari satuan pendidikan dan pemerintah daerah. Mulai dari sistem pelaporan digital, pelatihan guru, hingga mekanisme umpan balik yang transparan — semuanya dirancang agar TKA menjadi instrumen pembelajaran yang hidup, bukan beban birokratis semata.
III. Prinsip Dasar Tes Kemampuan Akademik dalam Kurikulum Merdeka
Filosofi utama TKA berpijak pada penilaian berbasis kompetensi dan penguatan profil pelajar Pancasila. Artinya, siswa tidak hanya diuji dari sisi kognitif, tetapi juga nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kemandirian, dan berpikir kritis. Di dalam Kurikulum Merdeka, keberhasilan belajar tidak diukur dari angka semata, melainkan dari sejauh mana siswa memahami makna dari proses yang dijalani.
Ciri khas TKA yang selaras dengan pembelajaran mendalam terlihat dari bentuk soalnya. Setiap pertanyaan dirancang agar siswa menganalisis, merefleksikan, dan mengaitkan pengetahuan antar konsep. Misalnya, soal matematika tidak hanya menanyakan hasil hitungan, tetapi juga bagaimana siswa menjelaskan proses berpikirnya. Soal bahasa tidak sekadar menguji ejaan, tetapi bagaimana siswa menafsirkan makna teks dan mengaitkannya dengan pengalaman hidup.
Dalam pengembangan soalnya, TKA mendorong munculnya konteks nyata dan studi kasus. Siswa diajak berpikir kritis menghadapi situasi sosial, lingkungan, atau ekonomi yang relevan dengan kehidupan mereka. Dengan begitu, pengetahuan menjadi hidup — bukan teori kosong di buku teks.
Hasil TKA kemudian tidak berhenti di angka atau skor. Ia diintegrasikan untuk memperbaiki strategi pembelajaran, terutama yang berbasis proyek dan eksplorasi makna. Guru dapat menggunakan hasil analisis ini untuk merancang aktivitas yang lebih reflektif, personal, dan kontekstual bagi setiap siswa.
IV. Tujuan dan Fungsi TKA pada Setiap Jenjang
Untuk siswa kelas 6, Tes Kemampuan Akademik berfungsi sebagai cermin kesiapan menuju jenjang menengah. Fokusnya pada literasi dan numerasi, tetapi bukan sekadar membaca dan berhitung — melainkan memahami makna teks, menemukan pola, dan menalar hubungan antar konsep. Anak-anak di jenjang ini belajar mengekspresikan pemahaman mereka dengan percaya diri, bukan takut salah.
Di kelas 9, fungsi TKA lebih menantang. Tes ini menilai kemampuan berpikir konseptual dan pemecahan masalah lintas disiplin. Misalnya, bagaimana siswa menggunakan pengetahuan IPA untuk menjelaskan fenomena sosial, atau memanfaatkan data dalam teks untuk menarik kesimpulan logis. Pendekatannya lebih reflektif dan aplikatif, sehingga siswa belajar berpikir “melampaui batas mata pelajaran”.
Bagi siswa kelas 12, TKA menjadi jembatan menuju dunia yang lebih luas — pendidikan tinggi atau dunia kerja. Tes ini mengukur kesiapan akademik sekaligus karakter: ketekunan, tanggung jawab, dan kemampuan mengambil keputusan. Siswa diharapkan mampu berpikir kritis, menyampaikan pendapat dengan argumentatif, serta memecahkan persoalan dengan cara yang inovatif.
Menariknya, hasil TKA tidak berdiri sendiri. Ia dihubungkan dengan proses pembelajaran mendalam dan asesmen formatif di sekolah. Dengan begitu, guru dan siswa bisa melihat sejauh mana pembelajaran bermakna telah terwujud, dan bagian mana yang perlu diperkuat.
V. Desain dan Komponen Tes Kemampuan Akademik
Desain Tes Kemampuan Akademik (TKA) disusun dengan hati-hati agar benar-benar mencerminkan semangat Kurikulum Merdeka. Struktur utamanya mencakup lima domain kognitif: literasi, numerasi, sains, sosial-humaniora, dan penalaran umum. Setiap domain tidak berdiri sendiri, melainkan saling terhubung membentuk jalinan berpikir yang utuh. Artinya, satu soal bisa menggabungkan kemampuan membaca, menalar, sekaligus menyimpulkan data ilmiah.
Proporsi soal dalam TKA juga dibuat lebih kontekstual. Sekitar 60% dari total butir soal berbasis pada situasi nyata — baik kehidupan sehari-hari, fenomena lingkungan, hingga kasus sosial di sekitar siswa. Misalnya, sebuah soal bisa mengajak siswa menganalisis perubahan pola konsumsi masyarakat atau menafsirkan data iklim. Pendekatan ini membuat siswa tidak hanya mengingat rumus, tapi juga mengasah kemampuan berpikir reflektif dan analitis.
Selain itu, setiap butir soal dikembangkan dengan prinsip Higher Order Thinking Skills (HOTS). Guru dan penyusun soal dilatih untuk merancang pertanyaan yang menantang logika, bukan sekadar menguji hafalan. Soal dengan tingkat berpikir tinggi seperti ini membantu siswa melihat pembelajaran sebagai petualangan intelektual, bukan sekadar rutinitas ujian.
Yang tak kalah penting, pelaksanaan TKA kini mengadopsi teknologi digital. Dengan sistem asesmen berbasis komputer, data hasil tes dapat diolah lebih cepat dan akurat. Guru bisa langsung mendapatkan laporan per individu dan per kompetensi, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih adaptif dan personal. Teknologi digital ini juga membuka peluang untuk menghadirkan pembelajaran mendalam yang lebih interaktif, fleksibel, dan berkelanjutan.
VI. Pembelajaran Mendalam sebagai Landasan Asesmen Akademik
Konsep pembelajaran mendalam atau deep learning menjadi fondasi dari seluruh rancangan TKA. Dalam Kurikulum Merdeka, pembelajaran tidak lagi diarahkan hanya untuk menyelesaikan materi, melainkan untuk membangun makna. Siswa diajak berpikir lebih dalam tentang “mengapa” dan “bagaimana”, bukan hanya “apa”. Mereka belajar menghubungkan konsep, mengajukan pertanyaan, dan menemukan makna personal dalam setiap topik.
Guru memiliki peran vital dalam menciptakan lingkungan belajar yang mendukung hal ini. Misalnya, guru tidak langsung memberi jawaban, tetapi menantang siswa untuk mencari alternatif solusi atau membandingkan berbagai perspektif. Dengan cara ini, siswa belajar menyelami makna dari setiap pengalaman belajar dan membangun pemahaman yang bertahan lama.
Aktivitas belajar yang menumbuhkan refleksi, analisis, dan kreativitas menjadi kunci. Misalnya, siswa diminta membuat jurnal reflektif setelah eksperimen sains, menganalisis teks sastra dari sudut pandang sosial, atau membuat proyek komunitas untuk menjawab isu lingkungan lokal. Semua itu memperkuat jembatan antara teori dan praktik hidup nyata.
Hubungan antara TKA dan pembelajaran mendalam sangat erat. Hasil TKA tidak dimaknai sebagai akhir dari proses, melainkan sebagai alat refleksi bersama. Guru dan siswa dapat melihat sejauh mana pemahaman konseptual sudah tumbuh, lalu menyesuaikan strategi agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, kontekstual, dan berpihak pada potensi unik setiap anak.
VII. Implementasi dan Mekanisme Pelaksanaan
Pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik dilakukan secara terjadwal di seluruh jenjang: kelas 6, 9, dan 12. Biasanya, TKA diselenggarakan menjelang akhir tahun ajaran untuk memberi waktu refleksi bagi guru dan siswa. Jadwalnya fleksibel, disesuaikan dengan kesiapan sekolah dan daerah, sesuai semangat Merdeka Belajar yang menghargai keberagaman konteks.
Dalam pelaksanaannya, guru dan kepala sekolah memiliki peran yang sangat penting. Guru berperan menyiapkan siswa agar memahami bahwa tes ini bukan untuk menilai “pintar atau tidak”, melainkan untuk mengenali kekuatan dan area pengembangan mereka. Kepala sekolah memastikan sistem pelaksanaan berjalan lancar, mulai dari teknis asesmen digital hingga pelaporan hasil.
Dinas pendidikan daerah menjadi penghubung utama antara sekolah dan pemerintah pusat. Mereka memfasilitasi pelatihan guru, memantau pelaksanaan, serta mengumpulkan data hasil TKA untuk dianalisis bersama. Semua hasil tersebut kemudian digunakan untuk perbaikan kurikulum, bukan untuk perankingan sekolah.
Agar semua berjalan efektif, dukungan teknologi menjadi keharusan. Platform digital digunakan untuk pelaksanaan, pelaporan, hingga analisis hasil. Selain itu, pelatihan guru tentang pembelajaran mendalam dan asesmen adaptif terus diperluas agar mereka mampu membaca data hasil TKA sebagai dasar pengembangan strategi belajar yang lebih kontekstual dan reflektif.
VIII. Dampak dan Manfaat TKA terhadap Satuan Pendidikan
Dampak pertama dari penerapan TKA adalah meningkatnya kesadaran sekolah terhadap pentingnya diagnosis capaian belajar. Melalui data hasil tes, guru dapat mengenali pola kekuatan dan kelemahan siswa di berbagai kompetensi. Misalnya, jika hasil TKA menunjukkan bahwa sebagian besar siswa kesulitan pada literasi informasi, maka guru dapat memperkuat aktivitas membaca reflektif di kelas.
Selain itu, hasil TKA menjadi dasar yang sangat berharga untuk perbaikan kurikulum sekolah. Strategi pengajaran bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan nyata siswa, bukan asumsi semata. Dengan begitu, proses belajar menjadi lebih personal, menantang, dan bermakna — sejalan dengan filosofi Kurikulum Merdeka.
Dampak lainnya adalah munculnya budaya reflektif di sekolah. Guru tidak lagi melihat asesmen sebagai “kewajiban administratif”, melainkan sebagai bagian dari pembelajaran mendalam. Mereka mulai berdiskusi antar rekan sejawat, berbagi strategi, bahkan melakukan riset kecil untuk meningkatkan kualitas pengajaran.
TKA juga memperkuat kolaborasi antara sekolah, guru, dan orang tua. Hasil tes dapat menjadi bahan percakapan bermakna di rumah. Orang tua memahami potensi dan tantangan anak, sementara guru mendapat dukungan moral untuk terus berinovasi. Semua pihak menjadi bagian dari ekosistem belajar yang saling menguatkan.
IX. Tantangan dan Solusi Implementasi
Tentu saja, pelaksanaan TKA tidak selalu mulus. Tantangan pertama adalah kesiapan infrastruktur. Tidak semua sekolah memiliki fasilitas digital memadai. Di daerah terpencil, akses internet masih menjadi hambatan utama. Namun, pemerintah telah menyiapkan mekanisme fleksibel, termasuk opsi offline mode dan pelaksanaan berbasis kertas untuk sekolah yang belum siap sepenuhnya.
Dari sisi pedagogis, tantangan muncul pada pemahaman guru tentang asesmen berbasis pembelajaran mendalam. Banyak guru yang masih terbiasa dengan pola ujian tradisional berbasis hafalan. Oleh karena itu, pelatihan berkelanjutan menjadi solusi utama — bukan hanya tentang teknis pelaksanaan, tapi juga tentang filosofi di balik asesmen yang reflektif dan humanis.
Selain itu, variasi mutu pendidikan antar daerah juga menjadi perhatian. Untuk itu, kolaborasi lintas daerah, pelatihan daring, dan komunitas belajar guru (teacher learning community) terus diperkuat. Pemerintah mendorong agar guru saling berbagi praktik baik, bukan bersaing dalam hasil tes.
Dari sisi kebijakan, rekomendasi yang muncul adalah perlunya keberlanjutan sistem asesmen nasional yang adaptif. Artinya, regulasi tidak berhenti di pelaksanaan TKA, tetapi terus dievaluasi, diperbarui, dan disempurnakan sesuai dinamika pendidikan. Dengan pendekatan seperti ini, TKA benar-benar menjadi instrumen tumbuh bersama — bukan beban administratif yang menakutkan.
X. Penutup
Pada akhirnya, Tes Kemampuan Akademik bukanlah sekadar alat ukur, melainkan cermin perjalanan bangsa dalam membangun sistem pendidikan yang memerdekakan. Melalui TKA, kita belajar bahwa yang penting bukan hanya hasil akhir, tetapi proses refleksi yang menyertainya. Siswa tidak lagi takut pada tes, karena mereka tahu: ini adalah bagian dari proses belajar untuk mengenal diri dan dunia.
Dalam semangat Kurikulum Merdeka, TKA menjadi simbol perubahan cara pandang kita terhadap asesmen — dari menilai menjadi membimbing, dari menghakimi menjadi mendampingi. Ia membantu mewujudkan pembelajaran mendalam yang sesungguhnya: belajar untuk berpikir, merasa, dan bertindak dengan kesadaran penuh.
TKA juga mengingatkan bahwa pendidikan adalah perjalanan kolaboratif. Pemerintah, guru, sekolah, orang tua, dan siswa harus berjalan beriringan. Ketika semua pihak bersinergi, asesmen menjadi alat pembebasan, bukan tekanan.
Mari kita jadikan TKA sebagai momentum untuk menumbuhkan pembelajar sepanjang hayat — generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga reflektif, adaptif, dan berkarakter. Karena sejatinya, makna belajar bukan terletak pada nilai yang kita peroleh, tetapi pada pemahaman yang kita tanamkan dan makna yang kita temukan di sepanjang prosesnya.