Pernikahan Monogami, Poligami dan Nikah Mut’ah, Pahamilah Sebelum Melaksanakannya
A.Syariat Dan Arti Pernikahan
Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak dan majusi menjadi halal dengan shighat.
Imam Hanafi. Menurut Imam Hanafi, pernikahan berarti seseorang memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dan perempuan yang dimaksud ialah seseorang yang hukumnya tidak ada halangan sesuai syar’i untuk dinikahi.
Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain dengan makna serupa.
Imam Hambali. Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki sinonim.
Kesimpulan dari semua pengertian pernikahan yang disampaikan oleh keempat imam tersebut mengandung makna yang hampir sama. Yakni, mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak halal menjadi halal dengan akad atau shighat.
Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia
mampu menerima dan menjalankan syariat dengan baik. Di antara syariat tersebut adalah
pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai:
جيوزتلا وا حاكنلإا ظفلب ءطولا ةحباإ نمضتي دقع
(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah atau tajwiz)
Kedua, manusia diciptakan oleh Allah berpasangan, yaitu laki-laki dan perempuan
sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:
الَّذِيْ لَقَ الْاَزْوَاجَ لَّهَا ا الْاَرْضُ اَنْفُسِهِمْ ا لَا لَمُوْنَ
Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)
Dari kehidupan berpasangan, manusia disyariatkan untuk menjalin hubungan yang
mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu Allah menurunkan syariat yang bertujuan menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah.
Ketiga, pernikahan dalam Islam disebut sebagai prilaku para Nabi dan
memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw bersabda
“empat fitrah yang dimiliki oleh manusia, yaitu memakai pacar, wangi-wangian, bersiwak (gosok gigi), dan nikah”.
Untuk dijadikan sebuah perbandingan, nampaknya sebelum pembahasan nikah
menurut Islam secara lebih mendalam perlu diungkap tentang pernikahan sebelum Islam (Jahiliyah).
Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan
warisan turun temurun dari perkawinan Romawi dan Persia.
Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi
dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan
kedua,nikah badl, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya.
Ketiga, nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau orang
pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.
Keempat, nikah Raht (urunan), seorang wanita dikumpuli
oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu
pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai
anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).
Kehadiran Islam menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak
sejalan dengan naluriah dan kehormatan manusia serta dapat dikatakan cara binatang yang
tidak mengenal aturan. Nikah dalam syariat Islam diartikan sebagai sebuah aqad yang
menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan perempuan yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan.
Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya
akad. Hal ini dipahami karena keduanya berjanji untuk menjalankan hak dan kewajiban
masing-masing dengan sebaik-baiknya.
وَ كَيۡفَ تَاۡخُذُوۡنَهٗ وَقَدۡ اَفۡضٰى بَعۡضُكُمۡ اِلٰى بَعۡضٍ وَّاَخَذۡنَ مِنۡكُمۡ مِّيۡثَاقًا غَلِيۡظًا
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)
Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan
untuk memenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait dengan rukun nikah, para ulama sepakat,
terdapat lima hal yang menjadi rukun nikah.
1. calon suami istri,
2. Wali dari calon is teri,
3. dua orang saksi,
4. Mahar (mas kawin),
5. Ijab-qabul.
B. Hikmah Nikah
Setiap syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan manusia. Sedikitnya terdapat lima point penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.
1. Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak ada jalan keluar untuk melampiaskan, maka manusia akan dirundung kegelisahan dan dikhawatirkan melakukan prostitusi (perzinahan). Maka pernikahan merupakan aturan yang paling baik dan jalan keluar yang menyejukkan untuk memuaskan seks manusia.
Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:
اٰيٰتِهٖٓ ا لَقَ لَكُمْ ا اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا لَ اِنَّ لِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)
2. Pernikahan jalan terbaik untuk melahirkan anak, memperbanyak kelahiran dan melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.
3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna tanpa adanya tali pernikahan.
4. Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan mencurahkan segala kemampuan dalam memperkuat potensi diri. Maka bangkitlah untuk bekerja dengan segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah harta dan kesuksesan. Dan tergugah semangat untuk mengeluarkan kekayaan alam dan yang terpendam di dalamnya.
5. Membagi-bagi pekerjaan dan membatasi tanggung jawab pekerjaan kepada suami dan isteri. Isteri mengurus rumah, hingga tertata dengan rapih, mendidik anak dan mempersiapkan “udara” segar untuk suami agar dapat beristirahat yang dapat menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan semangat kerja untuk memperoleh harta dan nafkah yang dibutuhkan. Pembagian kerja yang adil terhadap suami istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan diridhai oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.
Tujuan nikah
Tujuan sebuah pernikahan adalah
1. Melaksanakan Sunnah Rasul
Tujuan utama pernikahan dalam Islam ialah menjauhkan dari perbuatan maksiat. Sebagai seorang muslim, kita memiliki panutan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Alangkah baiknya bisa meniru yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satunya menjalankan pernikahan dengan niat yang baik.
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
"Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat)." (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).
2. Menguatkan Ibadah sebagai Benteng Kokoh Akhlaq Manusia Pernikahan merupakan hal yang mulia dalam Islam. Ikatan suci yang bermanfaat dalam menjaga kehormatan diri, serta terhindar dari hal-hal yang dilarang agama.
Apabila telah menikah, diketahui baik untuk mmenundukkan pandangan. Juga membentengi diri dari perbuatan keji dan merendahkan martabat, salah satunya zina.
berpuasalah.
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya:
"Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya." (HR. Bukhari No. 4779).
3. Menyempurnakan Agama
Terasa lebih indah bila menjalani kebahagiaan dunia dan akhirat bersama rekan yang tepat dalam biduk rumah tangga. Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk menyempurnakan separuh agama. Separuhnya yang lain melalui berbagai ibadah.
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
"Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagian sisanya." (HR. Al Baihaqi)
4. Menjalankan Perintah Allah SWT
Tujuan pernikahan dalam Islam berikutnya adalah mengikuti perintah Allah SWT. Menikah menjadi jalan ibadah yang paling banyak dinanti dan diidamkan oleh sebagian masyarakat. Tak perlu ragu dan takut ekonomi.
Yakinlah bahwa usaha yang dibarengi doa, tawakal bersama pasangan, tentu akan saling menguatkan mencapai kekayaan dunia dan akhirat.
اَنْكِحُوا الْاَيَامٰى الصّٰلِحِيْنَ ادِكُمْ اِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ ا اۤءَ اللّٰهُ لِهٖۗ اللّٰهُ اسِعٌ لِيْمٌ
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur Ayat 32).
5. Mendapatkan Keturunan
Demi keturunan putra-putra Adam, tujuan pernikahan dalam Islam termasuk mendapatkan keturunan. Salah satu jalan investasi di akhirat, selain beribadah, termasuk pula keturunan yang sholeh/sholehah.
وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ
"Allah menjadikan kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik. Maka mengapakah mereka percaya kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? ." (QS. An-Nahl ayat 72).
6. Penyenang Hati dalam Beribadah
Tujuan menikah dalam Islam selanjutnya sebagai penyenang hati, membentuk pasangan suami-istri yang bertakwa pada Allah SWT. Pernikahan mampu memicu rasa kasih dan menciptakan insan yang takwa. Bersama memperjuangkan nilai-nilai manfaat dan bermanfaat bagi orang lain.
وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon ayat 74).
7. Membangun Generasi Beriman
Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk membangun generasi percaya. pencapaian jawab terhadap anak, mendidik, mengasuh, dan merawat hingga usia cukup. Jalan ibadah sekaligus sedekah yang menjadi bekal di akhirat kelak.
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّبَعَتْهُمْ اِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا الَتْنٰهُمْ لِهِمْ لُّ امْرِئٍ ا
"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam semangat, Kami menghubungkan cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi pahala dari amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. At-Thur ayat 21).
8. Memperoleh Ketenangan
Sebuah pernikahan lebih disukai dengan tujuan dan niat yang memberi manfaat. Perasaan tenang dan tentram atau sakinah, akan hadir seusai menikah. Bukan sekedar untuk melampiaskan syahwat atau perasaan biologis saja, karena hal ini bisa mengurangi ketenangan tersebut.
اٰيٰتِهٖٓ ا لَقَ لَكُمْ ا اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا لَ اِنَّ لِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ
"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS al-Rum [30]: 21).
Keuntungan Menikah Sesuai Sabda Nabi SAW
1. Bermain-main dengan Pasangan Sah itu Berpahala
Keuntungan menikah dalam Islam yang membuat manusia bahagia ialah mendapat pahala, meski hanya bermain-main dengan pasangan. Apabila tak ada ikatan suci halal, menyentuh lawan jenis saja menjadi dosa. Sedangkan bersama istri atau suami, saling menyentuh sudah mendapat pahala.
"Main-main (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan istrimu." (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami 5498)
2. Memberi Nafkah Bernilai Sedekah
Hal yang lumrah mencukupi kebutuhan rumah tangga melalui nafkah. Namun di balik itu, terdapat berkah tersendiri. Allah SWT berbaik hati menilai nafkah sebagai bentuk ibadah dan sedekah.
ا المُسْلِمُ لَى لِهِ، ا، انَتْ لَهُ
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10964-menikahlah-engkau-akan-dapatkan-semua-keutamaan-ini.html
"Jika seorang Muslim memberi nafkah kepada keluarganya, dan ia berharap pahala dari itu, maka nafkah tersebut bernilai sedekah" (HR. Bukhari no. 5351)
3. Bercumbu dengan Istri Bernilai Pahala
Keuntungan menikah sesuai sabda Nabi melalui hadis, selanjutnya ialah bercumbu dan berhubungan intim. Setiap manusia memiliki hasrat libido. Islam sebagai petunjuk kehidupan, juga membimbing umat untuk tetap melampiaskan syahwat melalui cara yang baik dan sehat, yakni menikah.
» الُوا ا لَ اللَّهِ ا لَهُ ا أَجْرٌ الَ « لَوْ ا امٍ انَ لَيْهِ ا لِكَ ا ا الْحَلالِ ا
Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10964-menikahlah-engkau-akan-dapatkan-semua-keutamaan-ini.html
"Hubungan intim antara kalian adalah sedekah". Para sahabat lantas ada yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu malah mendapatkan pahala?' Beliau menjawab, 'Bukankah jika kalian bersetubuh pada wanita yang haram, kalian mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika kalian bersetubuh dengan wanita yang halal, kalian akan mendapatkan pahala" (HR. Muslim no. 1006).
4. Mencetak Generasi yang Menjaga Agama
Keutamaan menikah dalam Islam berikutnya adalah mencetak generasi yang menjaga agama. Kita berusaha mendidik agama pada anak, bila tak sanggup maka wajib membayar orang lain yang dipercaya mampu. Menciptakan generasi yang baik akan membawa berkah di dunia dan di akhirat.
تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم
"Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku" (HR. An Nasa'I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih).
C. Hukum Pernikahan
Penetapkan hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang yang akan melakukannya. Dengan demikian kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai illat hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah.
Berangkat dari perbedaan kondisi tersebut maka para ulama menghukumi nikah itu sesuai dengan illat (sebab) yang ditemui dari seseorang yang akan melangsungkan pernikahan.
Memperhatikan berbagai macam illat nikah maka hukum nikah dapat ditetapkan sebagai berikut:
1. Wajib, hukum ini layak dibebankan kepada orang yang telah mampu memberi nafkah, jiwanya terpanggil untuk nikah dan jika tidak nikah khawatir terjerumus ke lembah perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri dari perbuatan haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang hanya memiliki keinginan yang kuat tapi belum mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari oleh firman
Allah swt:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. AnNuur: 33)
Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang yang belum layak nikah karena belum mampu menafkahi seperti tersebut di atas. disarankan agar ia memperbanyak puasa. Hal ini diperkuat oleh Hadits Rasulullah saw berikut ini:
Artinya: “Hai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat dan dapat menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)
2. Sunah, hukum ini pantas bagi orang yang merindukan pernikahan dan mampu memberi nafkah tapi sebenarnya ia masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak.
Sedangkan membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani yang dilarang oleh Rasulullah.
Artinya: “Nikahlah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hari Qiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”
Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.
3. Makruh Tahrim
Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah menikahada kehawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram.
4. Mubah
Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya inginmemenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir akan melakukan zina.
5. Haram, hukum ini layak bagi orang yang tidak mampu memberikan nafkah dan jika iamemaksakan diri utnuk menikah akan mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak terpenuhi.
D. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami
Dalam kamus bahasa Indonesia, monogami berarti sistem yang memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif tersebut dapat dipahami bahwa seorang suami yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka suami itu menganut monogami.
Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam. Tujuannya untuk memberikan landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena itu hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Hukum ini sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami juga akan lebih mudah untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang dicintainya. Bagi laki-laki, selayaknya sikap monogami ini jika tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk beristeri lebih dari satu, seperti si isteri ternyata mandul. Pada asalnya hukum Islam menetapkan kepada laki-laki untuk beristeri satu saja.
Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari berbagai ayat alQur’an yang memerintahkan kepada laki-laki untuk menikah jika sudah mampu, sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarkan karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:
وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS. AnNur 32)
Hukum dalam Islam tidak terlepas dari illatnya. Asal perintah monogami dalam pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang dapat dibenarkan. Maka permasalahan baru setelah Islam membolehkan monogomi adalah persoalan poligami. Secara kebahasaan yang lebih tepat adalah poligini yang dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai “Sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”. Namun dalam tulisan ini, selanjutnya penulis cenderung untuk menggunakan istilah poligami untuk pembahasan dimaksud, yaitu poligami yang bermakna pologini (suami beristeri lebih dari satu) karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya dimasyarakat untuk laki-laki yang beristeri lebih dari satu.
Hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia, mengakui fakta yang dapat membimbing dan manjauhkan manusia dari perbuatan dungu. Inilah kenyataan yang “memaksa” Islam membolehkan poligami. Sebelum Islam datang, agama-agama terdahulu telah membolehkan praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi di masyarakat dahulu. Islam datang tidak menghapus secara serta merta sistem poligami “Jahiliyah”, yang sudah mendarah daging namun membangun aturan poligami penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang. Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya, bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah wafat Nabi.Kebolehan Berpoligami
Di masyarakat seperti sekarang ini, sikap berpoligami bagi sebagian laki-laki seakan menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenarnya. Memang Pada asalnya hukum poligami itu diperbolehkan jika seseorang suami tidak dikhawatirkan berbuat zhalim terhadap isteriisterinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri satu saja.
Islam diperuntukan untuk semua jenis dan golongan manusia serta memelihara kepentingan dan kemashlahatan yang bersifat pribadi dan umum.
Nampaknya kebolehan poligami karena untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa
pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu
jika dipandang darurat. Apa yang dimaksud dengan darurat tersebut? Menurut Yusuf Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah sebagai berikut:
1. Ditemukan seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata isterinya tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.
2. Di antara suami ada yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks, memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang sedangkan suaminya tidak sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.
3. Jumlah wanita lebih banyak dibanding jumlah laki-laki, khususnya setelah terjadi peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.
Namun permasalahan yang harus dihadapi bahwa kebolehan seorang suami untuk beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di atas. Katakanlah itu adalah pasal yang harus dimililiki oleh seorang suami sebelum berpoligami.
Namun ada pasal penting lainnya yang wajib dipenuhi setelah poligami itu terealisasi yaitu seorang suami harus berlaku adil dalam memberikan nafkah. Kewajiban bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah konsekuensi dari tindakan berpoligami dalam Islam. Sikap adil dimaksud berarti seorang suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai dengan kebutuhan secara wajar.
Nafkah itu ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan immateri (batiniyah). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya dalam memberikan makan, minum, pakaian, rumah, serta waktu giliran.
Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri-isterinya. Maka jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir ini yang mengakibatkan isteri-isteri terzalimi, maka haram bagi laki-laki untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 3:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
Artinya: “Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya, maka pada hari qiamat ia berjalan dalam keadaan menarik salah satu pundaknya (miring).” (HR. Abu Daud)
Yang dianggap perbuatan menzalimi dalam Hadits di atas adalah ketidak-adilan seorang suami dalam memenuhi hak-hak isteri yang dipandang kuasa bagi suami untuk memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.
Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni keadilan yang bersifat batin (kecenderungan hati/cinta. Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa:129)
Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami, maka tertutup hukum kebolehan bagi seorang suami untuk berpoligami meskipun
sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi cinta, maka Menurut Yusuf Qardhawi ini adalah keadilan yang dimaafkan dan diberikan toleransi, namun tidak termaafkan untuk nafkah lahir.
Ayat ini juga dapat dipahami bahwa seorang suami yang berpoligami tidak hanya untuk berkomitmen untuk adil, karena ayat tersebut memastikaan bahwa siapa pun seorang suami tidak akan pernah bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya, karena itu penting keharusan adanya maslahat yang lebih besar untuk isteri-isteri dan anak-anaknya. Perhatikan bagaimana tingginya konflik berumah tangga bagi para suami yang beristeri lebih dari satu, perseteruan antar para isteri, kecemberuan buta, permusuhan antara para anak, perebutan harta waris dan dosa-dosa yang ditimbulkan akibat perilaku berpoligami. Karena itu, pikirkan kemaslahatan yang lebih penting jika melakukan poligami seperti untuk kepentingan dakwah, mendapatkan keturunan hebat, dan kemaslahatan buat seluruh anggota keluarganya.
Contoh praktik poligami ideal adalah Baginda Rasulullah saw yang selalu berusaha untuk berlaku adil sampai kepada masalah bepergian dan untuk memenuhi rasa keadilan
tersebut, Rasulullah mengundi di antara isteri-isterinya. Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai perasaan dan meminta kerelaan dari isteri-isteri yang tidak pergi bersama Rosul.
Bukan hanya itu, Beliau berpoligami hanya semata untuk kepentingan dakwah sebab istri-istri yang dinikahi oleh beliau adalah wanita-wanita yang sangat memerlukan bantuan, lihatlah sosok wanita yang beliau nikahi semuanya adalah janda kecuali Sayidatuna ‘Aisyah r.a.
E. Hikmah dari Poligami
Berpoligami bagi sebagian orang terkadang tidak terlalu sulit untuk dilakukan.
Permasalahannya adalah tidak mudah untuk berlaku adil dalam memenuhi sesuatu yang menjadi hak para isteri. Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi sebenarnyamereka tidak mampu untuk memberikan nafkah. Motif mereka berpoligami bukan karenamasalah darurat, tapi karena ingin memperturutkan hawa nafsu seksual. Kalaupun mereka mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan waktu bergilir.
Oleh karena itu, alasan kebolehan berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat kondisi darurat dan syarat beraku adil terdapat hikmah di dalamnya yang Menurut Rasyid Ridh sedikitya terdapat empat hikmah.
1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan isteri yang mandul.
2). Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia tidak berfungsi semestinya sebagai isteri karena cacat fisik dan sebagainya.
3).Untuk menyelamatkan suami yang hiperseks dari perbuatan free sex. Tercatat di beberapa negara barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan free sex (kumpul kebo) dan lahirnya anak-zina yang mencapai jumlah cukup tinggi.
4). Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang tinggal di negara yang jumlah wanitanya lebih banyak dibanding laki-laki akibat peperangan misalnya.
Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:
1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi yang berjumlah sembilan dapat dijadikan sumber informasi bagi umat Islam yang hendak mengetahui ajaran-ajaran Nabi dan praktek kehidupan beliau dalam berkeluarga, bermasyarakat, terutama masalah rumah tangga.
2. Untuk kepentingan politik, yaitu mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan sekaligus menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani al-Nadhir.
3. Untuk kepentingan sosial dan kamanusiaan. Seperti perkawinan beliau dengan janda dermawan bernama Khadijah dan janda pahlawan Islam seperti Saudah binti Zuma’ah
(suaminya meninggal setelah kembali dari hijrah ke Abesenia), Hafsah binti Umar (suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang Uhud).
Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin yang wanita yang dinikahi adalah gadis-gadis cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun dibandingkan umur beliau. Demikian dengan isteri-isteri beliau yang lain, semuanya dinikahi bukan karena tuntutan nafsu , tapi bermotif dakwah yang ternyata motif tersebut dapat membantu keberhasilan tugas beliau sebagai utusann Allah. Dengan demikian, pada pernikahan Rasul terdapat hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi logis seperti telah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.
F. Nikah Mut’ah
Semarak nikah mut’ah atau sering disebut dengan nikah kontrak nampaknya masih menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiran pun muncul dari orang tua, tokoh masyarakat, pendidik bahkan ulama terhadap pernikahan yang terkesan “main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi dari kelompok yang membolehkan, juga ditemukan alasan untuk terhindar dari perzinahan demi memenuhi tuntutan sex sesaat. Untuk dapat menguji keabsahan nikah mut’ah yang banyak dilakukan oleh orang yang tinggal jauh dari isterinya karena memenuhi tugas kerja misalnya, bahkan tak luput pelakunya adalah pemuda dan mahasiswa, berikut ini akan dijelaskan duduk masalahnya.
Kata mut’ah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata mut’ah yang terdapat dalam al-Quran yang berarti bercampur (bersenang-senang bersama istri dengan bersenggama) dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. Firman Allah swt:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Yusuf Qardhawi memberikan pengertian nikah mut’ah secara terminologi, yaitu seorang laki-laki mengikat (menikahi) seorang perempuan untuk waktu yang ditentukan dengan imbalan uang yang tertentu pula. Di Indonesia, kawin mut’ah ini popular dengan sebutan kawin kontrak.
Uraian di atas memeberikan gambaran cukup jelas tentang nikah mut’ah. Bahwa tidaklah nikah mut’ah itu dilakukan, kecuali kecenderungan seseorang untuk memenuhi kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena secara otomatis jika sudah habis waktu kontrak yang telah ditentukan maka berakhirlah riwayat pernikahan itu. Dilihat dari penetapan pembatasan waktu (ta’qit) tersebut, pernikahan semacam itu bertentangan dengan syariat Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.
Diakui, bahwa nikah mut’ah pada zaman Nabi diperbolehkan namun tidak berlaku untuk semua orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat mendesak.
Menurut Yusuf Qardhawi, rahasia diperbolehkan nikah mut’ah pertama kali pada zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia
Islam. Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat tinggal jauh dengan isteri-isteri mereka. Di antara kaum yang ikut berijihad dengan Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. Sedangkan mereka yang kuat imannya bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:
Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping kami. Kemudian kami bertanya kepada Rosulullah, bolehkah kami mengebiri? Maka Rosulullah melarang kami untuk mengebiri dan memberikan keringanan kepada kami untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR. Bukhari Muslim)
Berdasarkan keterangan di atas, maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ahpada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:
a. Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.
b. Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.
Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah mut’ah yang ditempuh oleh Islam dilakukan secara priodik seperti proses pengharaman khamar. Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu fathu Makkah, maka Rosulullah mengizinkan mereka untuk melakukan nikah mut’ah. Ia berkata: “Maka kaum tetap melakukan nikah mut’ah itu sampai Rosulullah mengharamkan nikah mut’ah. Dan dalam redaksi yang lain, terdapat Hadits yang berbunyi”
Artinya: Wahai manusia, aku pernah membolehkan untuk mu melakukan nikah mut’ah dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah mut’ah itu. Oleh karena itu jika masih terdapat memiliki wanita yang diperoleh dengan cara nikah mut’ah maka hendaknya ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (HR Muslim)
Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya. Dengan demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah.
Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bin Khattab, dengan lantang beliau melarang nikah mut’ah serta mengancam hukuman bagi pelakunya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa ada pengecualian seperti haramnya menikahi ibu dan anak kandung perempuan? Apakah keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa keharaman nikah mut’ah adalah mutlak tanpa ada pengecualian meski dalam kondisi darurat.
Pendapat ini diperkuat oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan.
Nikah Mut’ah Masa Kini
Seperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh sebagaian masyarakat meski mendapat protes yang cukup keras juga. Kecenderungan itu muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama, di masa sekarang ini praktek nikah mut’ah ini terjadi lagi dan bahkan ada yang melegalkan kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah.
Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di atas sangatlah lemah dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek tujuan dari sebuah pernikahan yang sesungguhnya. Dengan demikian penghalalan nikah mut’ah pada masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun naqli:
1. Islam menetapkan pernikahan sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan motivasi untuk hubungan yang kekal yang akan menumbuhkan cinta, kasih sayang dan ketentraman batin serta menciptakan keturunan yang langgeng. Sedangkan dalam nikah mut’ah (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang telah disepakati. Dan perceraian kedua pasangan itu secara otomatis dikarenakan habisnya masa kontrak. Jelas nikah mut’ah ini bertentangan dengan prinsip dan tujuan nikah dalam Islam.
2. Menghalalkan kembali nikah mut’ah berarti langkah mundur dari sesuatu yang telah ditetapkan secara sempurna oleh Islam. Salah satu sebab diperbolehkannya nikah pada zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ahketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah mut’ahsekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.
3. Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat. Sebab alasan darurat diperbolehkannya nikah mut’ah pada zaman Nabi itu dalam keadaan berperang di mana isteri mereka tinggal berjauhan, sulit mereka untuk bertemu. Apakah relevan kalau hanya alasan nafsu seks itu dijadikan dalih untuk membolehkan nikah mut’ah sekarang ini? Tentu tidak relevan karena itu qiyas fariq yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
4. Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah akan bermunculan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak yang tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Hal ini akan menggangu pertumbuhan psikologis anak.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah mut’ahyang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan alasan darurat dan ada hikmah tasyri’ di dalamnya. Maka tidak ada alasan yang dapat dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah sekarang ini. Hukum nikah mut’ah ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu. “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah jelas”.
Wallohua'lam.................................................