Pernikahan Monogami, Poligami dan Nikah Mut’ah, Pahamilah Sebelum Melaksanakannya

Pernikahan Monogami, Poligami dan Nikah Mut’ah, Pahamilah Sebelum Melaksanakannya

A.Syariat Dan Arti Pernikahan

Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak dan majusi menjadi halal dengan shighat.

Pernikahan Monogami, Poligami dan Nikah Mut’ah, Pahamilah Sebelum Melaksanakannya


Imam Hanafi. Menurut Imam Hanafi, pernikahan berarti seseorang memperoleh hak untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dan perempuan yang dimaksud ialah seseorang yang hukumnya tidak ada halangan sesuai syar’i untuk dinikahi.

Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain dengan makna serupa.

Imam Hambali. Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah ataupun kata lain yang memiliki sinonim.

Kesimpulan dari semua pengertian pernikahan yang disampaikan oleh keempat imam tersebut mengandung makna yang hampir sama. Yakni, mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak halal menjadi halal dengan akad atau shighat.


Pertama, manusia adalah makhluk berakal dan dengan akalnya tersebut manusia 

mampu  menerima  dan  menjalankan  syariat  dengan  baik.  Di  antara  syariat  tersebut  adalah 

pernikahan, yang pengertiannya menurut ulama Syafi’iyah, sebagai:


جيوزتلا وا حاكنلإا ظفلب ءطولا ةحباإ نمضتي دقع

(Akad (perjanjian) yang mengandung kebolehan hubungan kelamin dengan sebab lafaz nikah  atau tajwiz)


Kedua,  manusia  diciptakan  oleh  Allah  berpasangan,  yaitu  laki-laki  dan  perempuan

sebagaimana dijelaskan oleh Allah swt:

الَّذِيْ لَقَ الْاَزْوَاجَ لَّهَا ا الْاَرْضُ اَنْفُسِهِمْ ا لَا لَمُوْنَ

Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Yasin: 36)


Dari kehidupan berpasangan, manusia    disyariatkan untuk menjalin hubungan  yang 

mulia, mengembangkan keturunan, menegaskan hak dan kewajiban antara keduanya. Untuk itu Allah  menurunkan syariat yang bertujuan  menjaga harkat dan martabat serta kehormatan manusia yang disebut dengan nikah. 


Ketiga,    pernikahan  dalam  Islam  disebut  sebagai  prilaku  para  Nabi  dan 

memasukkannya sebagai salah satu fitrah yang dimiliki oleh manusia. Rasulullah saw bersabda 

“empat  fitrah  yang  dimiliki  oleh  manusia,  yaitu  memakai  pacar,  wangi-wangian,  bersiwak  (gosok gigi), dan nikah”.

Untuk  dijadikan  sebuah  perbandingan,  nampaknya  sebelum  pembahasan  nikah 

menurut  Islam  secara  lebih  mendalam  perlu  diungkap  tentang  pernikahan  sebelum  Islam (Jahiliyah). 


Pada zaman Jahiliyah telah dikenal bebarapa praktek perkawinan yang merupakan 

warisan  turun  temurun  dari  perkawinan  Romawi  dan  Persia.  


Pertama,  perkawinan  pacaran (khidn),  yaitu  berupa  pergaulan  bebas  pria  dan  wanita  sebelum  perkawinan  yang  resmi 

dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan 


kedua,nikah  badl,  yaitu  seorang  suami  minta  kepada  laki-laki  lain  untuk  saling  menukar  istrinya. 

Ketiga,  nikah istibdha, yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau  orang

pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai ia hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya.  


Keempat, nikah  Raht  (urunan), seorang wanita dikumpuli 

oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu 

pria  yang  telah  mengumpulinya  untuk  mengakui  bayi  yang  telah  dilahirkannya  sebagai 

anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (nikah pelacur).


Kehadiran Islam  menghapus semua bentuk pernikahan di atas karena dipandang tidak 

sejalan  dengan  naluriah  dan  kehormatan  manusia  serta  dapat  dikatakan  cara  binatang  yang 

tidak  mengenal  aturan.  Nikah  dalam  syariat  Islam  diartikan  sebagai  sebuah  aqad  yang

menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara lakilaki dan perempuan yang bukan mahromnya dengan rukun dan syarat yang telah ditentukan. 

Al-Qur’an menyebut nikah sebagai mitsaq  (perjanjian) antara suami dan isteri sejak terjadinya 

akad.  Hal  ini  dipahami  karena  keduanya  berjanji  untuk  menjalankan  hak  dan  kewajiban 

masing-masing dengan sebaik-baiknya.

وَ كَيۡفَ تَاۡخُذُوۡنَهٗ وَقَدۡ اَفۡضٰى بَعۡضُكُمۡ اِلٰى بَعۡضٍ وَّاَخَذۡنَ مِنۡكُمۡ مِّيۡثَاقًا غَلِيۡظًا‏

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa: 21)

Sepasang calon suami istri yang ingin melangsungkan ikatan pernikahan diharuskan 

untuk memenuhi syarat  dan rukun nikah. Terkait dengan  rukun nikah, para ulama sepakat, 

terdapat  lima hal yang menjadi rukun nikah. 

1. calon suami istri, 

2. Wali dari calon is teri, 

3. dua orang saksi, 

4. Mahar (mas kawin), 

5. Ijab-qabul.


B. Hikmah Nikah

Setiap syariat yang diturunkan oleh Allah dipastikan terdapat hikmah untuk kehidupan manusia. Sedikitnya terdapat  lima point penting yang penulis kutip dari pendapat Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunah berkaitan dengan hikmah dari sebuah pernikahan.


1.  Nafsu seks termasuk tuntutan terkuat dan selalu meliputi kehidupan manusia. Ketika tidak ada  jalan  keluar  untuk  melampiaskan,  maka  manusia  akan  dirundung  kegelisahan  dan dikhawatirkan  melakukan  prostitusi  (perzinahan).  Maka  pernikahan  merupakan  aturan yang paling baik dan jalan keluar  yang menyejukkan untuk memuaskan seks manusia. 

Dengan nikah jasad menjadi segar, jiwa menjadi tentram dan penglihatan akan menutupi sesuatu yang diharamkan. Ini semua terkandung dari petunjuk Allah dalam firmanNya:

اٰيٰتِهٖٓ ا لَقَ لَكُمْ ا اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا لَ اِنَّ لِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ

Artinya:  “Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  Dia  menciptakan  untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. ar-Rum: 21)


2.  Pernikahan  jalan  terbaik  untuk  melahirkan  anak,  memperbanyak  kelahiran  dan melestarikan kehidupan dengan selalu menjaga keturunan.


3.  Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dan berkembang dalam menaungi anak masa kanak-kanak  serta tumbuhnya rasa kasih-sayang. Semua kelebihan itu tidak akan sempurna tanpa adanya tali pernikahan.


4.  Rasa tanggung jawab dari pernikahan serta mengurus anak dapat membangkitkan semangat dan  mencurahkan  segala  kemampuan  dalam  memperkuat  potensi  diri.  Maka  bangkitlah untuk bekerja dengan segala kewajiban sehingga banyak kesibukan yang dapat menambah harta  dan  kesuksesan.  Dan  tergugah  semangat  untuk  mengeluarkan  kekayaan  alam  dan yang terpendam di dalamnya.


5.  Membagi-bagi  pekerjaan  dan  membatasi  tanggung  jawab  pekerjaan  kepada  suami  dan isteri.  Isteri  mengurus  rumah,  hingga  tertata  dengan  rapih,  mendidik  anak  dan mempersiapkan  “udara”  segar  untuk  suami  agar  dapat  beristirahat  yang  dapat menghilangkan kelelahannya dan menimbulkan semangat baru yang dapat membangkitkan semangat  kerja  untuk  memperoleh  harta  dan  nafkah  yang  dibutuhkan.  Pembagian  kerja yang adil terhadap suami istri sesuai dengan tugas alamiah mereka masing-masing ini akan diridhai oleh Allah dan pujian manusia serta menghasilkan buah yang diberkahi.


Tujuan nikah 

Tujuan sebuah pernikahan adalah 

1. Melaksanakan Sunnah Rasul

Tujuan utama pernikahan dalam Islam ialah menjauhkan dari perbuatan maksiat. Sebagai seorang muslim, kita memiliki panutan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Alangkah baiknya bisa meniru yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Salah satunya menjalankan pernikahan dengan niat yang baik.

النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي ، و تَزَوَّجُوا ؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ


"Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, bukan bagian dariku. Maka menikahlah kalian, karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat)." (HR. Ibnu Majah no. 1846, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah no. 2383).


2. Menguatkan Ibadah sebagai Benteng Kokoh Akhlaq Manusia Pernikahan merupakan hal yang mulia dalam Islam. Ikatan suci yang bermanfaat dalam menjaga kehormatan diri, serta terhindar dari hal-hal yang dilarang agama.


Apabila telah menikah, diketahui baik untuk mmenundukkan pandangan. Juga membentengi diri dari perbuatan keji dan merendahkan martabat, salah satunya zina.

berpuasalah. 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

Artinya:

"Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menentramkan pandangan dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya." (HR. Bukhari No. 4779).


3. Menyempurnakan Agama

Terasa lebih indah bila menjalani kebahagiaan dunia dan akhirat bersama rekan yang tepat dalam biduk rumah tangga. Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk menyempurnakan separuh agama. Separuhnya yang lain melalui berbagai ibadah.

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

"Barangsiapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagian sisanya." (HR. Al Baihaqi)


4. Menjalankan Perintah Allah SWT

Tujuan pernikahan dalam Islam berikutnya adalah mengikuti perintah Allah SWT. Menikah menjadi jalan ibadah yang paling banyak dinanti dan diidamkan oleh sebagian masyarakat. Tak perlu ragu dan takut ekonomi.


Yakinlah bahwa usaha yang dibarengi doa, tawakal bersama pasangan, tentu akan saling menguatkan mencapai kekayaan dunia dan akhirat.

اَنْكِحُوا الْاَيَامٰى الصّٰلِحِيْنَ ادِكُمْ اِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ ا اۤءَ اللّٰهُ لِهٖۗ اللّٰهُ اسِعٌ لِيْمٌ

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. An-Nur Ayat 32).


5. Mendapatkan Keturunan

Demi keturunan putra-putra Adam, tujuan pernikahan dalam Islam termasuk mendapatkan keturunan. Salah satu jalan investasi di akhirat, selain beribadah, termasuk pula keturunan yang sholeh/sholehah.

وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا وَّجَعَلَ لَكُمْ مِّنْ اَزْوَاجِكُمْ بَنِيْنَ وَحَفَدَةً وَّرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَتِ اللّٰهِ هُمْ يَكْفُرُوْنَۙ

"Allah menjadikan kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik. Maka mengapakah mereka percaya kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah? ." (QS. An-Nahl ayat 72).


6. Penyenang Hati dalam Beribadah

Tujuan menikah dalam Islam selanjutnya sebagai penyenang hati, membentuk pasangan suami-istri yang bertakwa pada Allah SWT. Pernikahan mampu memicu rasa kasih dan menciptakan insan yang takwa. Bersama memperjuangkan nilai-nilai manfaat dan bermanfaat bagi orang lain.

وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيّٰتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqon ayat 74).


7. Membangun Generasi Beriman

Tujuan pernikahan dalam Islam selanjutnya untuk membangun generasi percaya. pencapaian jawab terhadap anak, mendidik, mengasuh, dan merawat hingga usia cukup. Jalan ibadah sekaligus sedekah yang menjadi bekal di akhirat kelak.

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا اتَّبَعَتْهُمْ اِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا الَتْنٰهُمْ لِهِمْ لُّ امْرِئٍ ا

"Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam semangat, Kami menghubungkan cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi pahala dari amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya." (QS. At-Thur ayat 21).


8. Memperoleh Ketenangan

Sebuah pernikahan lebih disukai dengan tujuan dan niat yang memberi manfaat. Perasaan tenang dan tentram atau sakinah, akan hadir seusai menikah. Bukan sekedar untuk melampiaskan syahwat atau perasaan biologis saja, karena hal ini bisa mengurangi ketenangan tersebut.

اٰيٰتِهٖٓ ا لَقَ لَكُمْ ا اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا لَ اِنَّ لِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ

"Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia ciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS al-Rum [30]: 21).

Keuntungan Menikah Sesuai Sabda Nabi SAW

1. Bermain-main dengan Pasangan Sah itu Berpahala

Keuntungan menikah dalam Islam yang membuat manusia bahagia ialah mendapat pahala, meski hanya bermain-main dengan pasangan. Apabila tak ada ikatan suci halal, menyentuh lawan jenis saja menjadi dosa. Sedangkan bersama istri atau suami, saling menyentuh sudah mendapat pahala.


"Main-main (yang bermanfaat) itu ada tiga: engkau menjinakkan kudamu, engkau menembak panahmu, engkau bermain-main dengan istrimu." (HR. Ishaq bin Ibrahim Al Qurrab dalam Fadhail Ar Ramyi no.13 dari sahabat Abud Darda, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami 5498)


2. Memberi Nafkah Bernilai Sedekah

Hal yang lumrah mencukupi kebutuhan rumah tangga melalui nafkah. Namun di balik itu, terdapat berkah tersendiri. Allah SWT berbaik hati menilai nafkah sebagai bentuk ibadah dan sedekah.

ا المُسْلِمُ لَى لِهِ، ا، انَتْ لَهُ

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10964-menikahlah-engkau-akan-dapatkan-semua-keutamaan-ini.html

"Jika seorang Muslim memberi nafkah kepada keluarganya, dan ia berharap pahala dari itu, maka nafkah tersebut bernilai sedekah" (HR. Bukhari no. 5351)


3. Bercumbu dengan Istri Bernilai Pahala

Keuntungan menikah sesuai sabda Nabi melalui hadis, selanjutnya ialah bercumbu dan berhubungan intim. Setiap manusia memiliki hasrat libido. Islam sebagai petunjuk kehidupan, juga membimbing umat untuk tetap melampiaskan syahwat melalui cara yang baik dan sehat, yakni menikah.

» الُوا ا لَ اللَّهِ ا لَهُ ا أَجْرٌ الَ « لَوْ ا امٍ انَ لَيْهِ ا لِكَ ا ا الْحَلالِ ا

Baca selengkapnya https://muslimah.or.id/10964-menikahlah-engkau-akan-dapatkan-semua-keutamaan-ini.html

"Hubungan intim antara kalian adalah sedekah". Para sahabat lantas ada yang bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu malah mendapatkan pahala?' Beliau menjawab, 'Bukankah jika kalian bersetubuh pada wanita yang haram, kalian mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika kalian bersetubuh dengan wanita yang halal, kalian akan mendapatkan pahala" (HR. Muslim no. 1006).


4. Mencetak Generasi yang Menjaga Agama

Keutamaan menikah dalam Islam berikutnya adalah mencetak generasi yang menjaga agama. Kita berusaha mendidik agama pada anak, bila tak sanggup maka wajib membayar orang lain yang dipercaya mampu. Menciptakan generasi yang baik akan membawa berkah di dunia dan di akhirat.

تزوجوا الودود الولود فاني مكاثر بكم الأمم

"Nikahilah wanita yang penyayang dan subur! Karena aku berbangga dengan banyaknya ummatku" (HR. An Nasa'I, Abu Dawud. Dihasankan oleh Al Albani dalam Misykatul Mashabih).


C. Hukum Pernikahan

Penetapkan hukum nikah termasuk perkara yang selalu dikaitkan dengan kondisi orang yang  akan  melakukannya.  Dengan  demikian  kondisi  tersebut  dapat  dijadikan  sebagai  illat hukumnya. Hal yang dapat dimaklumi bahwa kondisi seseorang itu berbeda antara yang satu dengan yang lainnya jika dilihat dari aspek gejolak seks dan kemampuan pemberian nafkah. 

Berangkat  dari  perbedaan  kondisi  tersebut  maka  para  ulama  menghukumi  nikah  itu  sesuai dengan  illat  (sebab)  yang  ditemui  dari  seseorang  yang  akan  melangsungkan  pernikahan. 

Memperhatikan  berbagai  macam   illat  nikah  maka  hukum  nikah  dapat  ditetapkan  sebagai berikut:


1.  Wajib,  hukum  ini  layak  dibebankan  kepada  orang  yang  telah  mampu  memberi  nafkah, jiwanya  terpanggil  untuk  nikah  dan  jika  tidak  nikah  khawatir  terjerumus  ke  lembah perzinahan. Hal ini diperkuat oleh tuntunan agama bahwa menjaga diri  dari perbuatan haram adalah wajib. Sedangkan bagi yang  hanya memiliki   keinginan yang kuat    tapi  belum mampu memberi nafkah, maka lebih baik ia menahan diri. Hal ini didasari  oleh  firman 

Allah swt: 

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ

Artinya:  “Dan  orang-orang  yang  tidak  mampu  kawin  hendaklah  menjaga  kesucian (diri)  nya,  sehingga  Allah  memampukan  mereka  dengan  karunia-Nya.”  (QS.  AnNuur: 33)

Salah satu cara untuk menjaga diri ketika gejolak nafsu bilogis yang memuncak bagi orang yang  belum  layak  nikah  karena  belum  mampu  menafkahi  seperti  tersebut  di  atas. disarankan agar ia  memperbanyak  puasa. Hal ini diperkuat oleh Hadits Rasulullah saw berikut ini:

Artinya: “Hai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah dapat menahan pandangan dari maksiat  dan dapat menjaga kemaluan dari berbuat zina. Namun bagi siapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena puasa dapat membentengi dorongan sahwat.” (HR. Bukhari)


2.  Sunah,  hukum ini pantas    bagi orang yang merindukan  pernikahan  dan mampu memberi nafkah tapi  sebenarnya  ia  masih mampu menahan dirinya dari perbuatan zina. Maka bagi orang seperti ini hukum nikah menjadi sunah. Akan tetapi jika demikian kondisinya, nikah lebih baik baginya dari pada membujang karena dalam nikah terdapat ibadah yang banyak. 

Sedangkan  membujang (tidak nikah) itu seperti para pendeta Nasrani  yang dilarang oleh Rasulullah.

Artinya: “Nikahlah kamu sekalian karena aku akan berbanyak-banyak umat pada hari Qiamat dan janganlah kamu seperti pendeta Nasrani.”

Memperkuat anjuran nikah, Umar pernah berkata kepada Abi Zawaid, hanya sifat lemah atau melacurlah yang mencegahmu dari nikah. Berkata juga Ibnu Abbas bahwa tidak akan sempurna ibadah seseorang sampai ia menikah.

3. Makruh Tahrim

Hukum menikah menjadi makruh tahrim apabila setelah menikahada kehawatiran akan mencari nafkah dengan jalan haram.

4. Mubah

Hukum nikah menjadi mubah apabila tujuan menikah hanya inginmemenuhi kebutuhan syahwat saja, bukan karena hawatir akan melakukan zina.

5.  Haram,  hukum ini layak  bagi orang  yang tidak  mampu memberikan nafkah dan jika iamemaksakan diri utnuk menikah   akan  mengkhianati isterinya atau suaminya, baik dalam pemberian nafkah lahiriyah maupun batiniyah, sehingga dengan perkawinan itu hak-hak istri/suami tidak terpenuhi.

D. Hukum Pernikahan Monogami dan Poligami

Dalam  kamus  bahasa  Indonesia,  monogami  berarti  sistem  yang  memperbolehkan seorang laki-laki mempunyai satu isteri pada jangka waktu tertentu. Dari ta’rif  tersebut  dapat dipahami bahwa seorang suami  yang beristerikan satu isteri saja tidak dua atau tiga maka suami itu menganut monogami.

Azas monogami telah ditetapkan oleh Islam sejak lima belas abad yang lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam.  Tujuannya untuk  memberikan landasan dan modal utama dalam pembinaan kehidupan rumah tangga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Oleh karena  itu  hukum  asal  perkawinan  dalam  Islam  adalah  monogami.  Hukum  ini  sangatlah beralasan karena dengan monogami tujuan pernikahan untuk menghantarkan keluarga bahagia akan lebih mudah karena tidak terlalu banyak beban. Selain dengan bermonogami  juga akan lebih mudah  untuk menetralisir dan meredam sifat cemburu, iri hati dan perasaan mengeluh dalam kehidupan isteri sehari-hari. Islam memerintahkan kepada laki-laki untuk nikah dengan seorang perempuan yang dicintainya. Bagi laki-laki, selayaknya sikap monogami ini jika tidak ada  alasan  yang  dapat  dibenarkan  untuk  beristeri  lebih  dari  satu,  seperti  si  isteri  ternyata mandul.  Pada  asalnya  hukum  Islam  menetapkan  kepada  laki-laki  untuk  beristeri  satu  saja. 

Isyarat al-Qur’an untuk bermonogami bagi laki-laki dapat kita pahami dari berbagai ayat alQur’an  yang  memerintahkan  kepada  laki-laki  untuk  menikah  jika  sudah  mampu,   sikap membujang berkepanjangan tanpa alasan adalah sikap yang tidak dibenarkan  karena dalam nikah banyak terdapat kebaikan. Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an antara lain:

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang  layak  (berkawin)  dari  hamba-hamba  sahayamu  yang  lelaki  dan  hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan  Allah Maha Luas (pemberian-Nya) Lagi Maha Mengetahui”.  (QS. AnNur 32)


Hukum  dalam  Islam  tidak  terlepas  dari  illatnya.  Asal  perintah  monogami  dalam pernikahan dapat berubah menjadi perintah berpoligami jika benar-benar ditemukan illat yang dapat  dibenarkan.  Maka  permasalahan  baru  setelah  Islam  membolehkan  monogomi  adalah persoalan poligami.  Secara kebahasaan  yang lebih tepat adalah poligini  yang dalam kamus bahasa  Indonesia  diartikan  sebagai  “Sistem  perkawinan  yang  membolehkan  seorang  pria memiliki beberapa wanita sebagai isterinya di waktu yang bersamaan”. Namun dalam tulisan ini,  selanjutnya  penulis  cenderung  untuk  menggunakan  istilah  poligami  untuk  pembahasan dimaksud,  yaitu  poligami  yang  bermakna  pologini  (suami  beristeri  lebih  dari  satu)  karena selain bisa dibenarkan secara kebahasaan juga istilah tersebut sudah populer penyebutnya dimasyarakat untuk laki-laki yang beristeri lebih dari satu.

Hukum kebolehan poligami, Yusuf Qardhawi menulis, bahwa Islam adalah agama yang sejalan  dengan  fitrah  manusia,  mengakui  fakta  yang  dapat  membimbing  dan  manjauhkan manusia  dari  perbuatan  dungu.  Inilah  kenyataan  yang  “memaksa”  Islam  membolehkan poligami.  Sebelum  Islam  datang,  agama-agama  terdahulu  telah  membolehkan  praktek poligami sampai seratus isteri tanpa terikat oleh syarat dan aturan. Itulah kultur yang terjadi di masyarakat  dahulu.  Islam  datang  tidak  menghapus  secara  serta  merta  sistem  poligami “Jahiliyah”,  yang  sudah  mendarah  daging  namun  membangun  aturan  poligami  penerapan pembatasan jumlah istri tidak boleh lebih dari empat di samping adanya syarat-syarat lain yang berhubungan dengan keadilan. Tercatat dalam sejarah bahwa seorang sahabat bernama Ghailan al-Tsaqafi, ketika ia masuk Islam beristerikan sepuluh orang.  Lalu Nabi berkata kepadanya “pilih empat dan sisanya ceraikan”. Lalu banyak orang bertanya, bagaimana dengan Rasulullah yang punya isteri lebih dari empat. Ini adalah sebuah keistimewaan dari Allah karena keperluan da’wah Rosul dan kebutuhan kehadiran para istri Nabi setelah wafat Nabi.Kebolehan  Berpoligami

Di  masyarakat  seperti  sekarang  ini,  sikap  berpoligami  bagi  sebagian  laki-laki  seakan menjadi sesuatu yang dianggap mudah untuk dilakukan karena hanya semata mengikuti nafsu biologis dan tidak mengikuti aturan yang sebenarnya. Memang  Pada asalnya hukum poligami itu  diperbolehkan  jika  seseorang  suami  tidak  dikhawatirkan  berbuat  zhalim  terhadap  isteriisterinya. Jika dipastikan akan berlaku zhalim, maka seorang suami lebih baik untuk beristeri satu saja.

Islam  diperuntukan  untuk  semua  jenis  dan  golongan  manusia  serta  memelihara kepentingan  dan  kemashlahatan  yang  bersifat  pribadi  dan  umum.  

Nampaknya  kebolehan  poligami karena untuk mewujudkan kemashlahatan bagi manusia agar tidak berlaku zina dan tidak terjatuh ke dalam pintu kemaksiatan. Dengan kata lain menurut Mahmud Syaltut, bahwa 

pada asalnya Islam memerintahkan laki-laki untuk beristeri satu, boleh beristeri lebih dari satu 

jika  dipandang  darurat.  Apa  yang  dimaksud  dengan  darurat  tersebut?  Menurut  Yusuf Qardhawi, kondisi darurat yang dengannya seorang laki-laki dibolehkan berpoligami adalah sebagai berikut: 

1.  Ditemukan  seorang suami yang menginginkan keturunan, akan tetapi ternyata isterinya tidak dapat melahirkan anak disebabkan karena mandul atau penyakit.

2.  Di antara suami ada  yang memiliki overseks, akan tetapi isterinya memiliki kelemahan seks,    memiliki penyakit atau masa haidhnya terlalu panjang  sedangkan suaminya  tidak sabar menghadapi kelemahan isterinya tersebut.

3.  Jumlah  wanita  lebih  banyak  dibanding  jumlah  laki-laki,  khususnya  setelah  terjadi peperangan. Di situ terdapat kemashlahatan yang harus didapat oleh sebuah masyarakat dan para wanita yang tidak menginginkan hidup tanpa suami dan keinginan hidup tenang, cinta dan terlindungi serta menikmati sifat keibuan.

Namun  permasalahan  yang  harus  dihadapi  bahwa  kebolehan  seorang  suami  untuk beristeri lebih dari satu bukan hanya dikarenakan kondisi mendesak sebagaimana tersebut di atas.  Katakanlah  itu  adalah  pasal  yang  harus  dimililiki  oleh  seorang  suami  sebelum berpoligami.  

Namun  ada  pasal  penting  lainnya  yang  wajib  dipenuhi  setelah  poligami  itu terealisasi yaitu seorang suami harus  berlaku adil dalam memberikan nafkah. Kewajiban bagi seorang suami untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah terhadap isteri-isterinya adalah konsekuensi  dari  tindakan  berpoligami  dalam  Islam.  Sikap  adil    dimaksud  berarti  seorang suami dapat memenuhi hak kewajibannya terhadap isteri-isterinya secara proporsional sesuai dengan kebutuhan secara wajar.

Nafkah itu ada yang bersifat lahiriyah, yaitu nafkah yang bersifat materi dan immateri (batiniyah). Sehubungan dengan pembagian nafkah tersebut maka keadilanpun terbagi mejadi dua yaitu keadilan dalam memberikan nafkah lahiriyah dan keadilan dalam memberikan nafkah batiniyah. Pada keadilan bentuk pertama, seorang suami dituntut untuk berlaku adil terhadap isteri-isterinya  dalam  memberikan  makan,  minum,  pakaian,  rumah,  serta  waktu  giliran. 

Pemenuhan rasa keadilan bentuk pertama ini sangat mungkin dapat dilakukan oleh seorang suami terhadap isteri-isterinya. Maka jika seorang suami tidak dapat berlaku adil dalam nafkah lahir  ini  yang  mengakibatkan  isteri-isteri  terzalimi,  maka  haram  bagi  laki-laki  untuk berpoligami. Allah swt berfirman dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 3:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Artinya:  “Kawinilah  wanita-wanita  (lain)  yang  kamu  senangi:  dua,  tiga  atau  empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Rasulullah bersabda:

Artinya: “Siapa yang memilki dua orang isteri tapi ia lebih berpihak kepada salah satunya, maka  pada  hari  qiamat  ia  berjalan  dalam  keadaan  menarik  salah  satu  pundaknya (miring).” (HR. Abu Daud)


Yang  dianggap  perbuatan  menzalimi  dalam  Hadits  di  atas  adalah  ketidak-adilan seorang  suami  dalam  memenuhi  hak-hak  isteri  yang  dipandang  kuasa  bagi  suami  untuk memenuhinya seperti nafkah lahir dan waktu gilir.

Terkait dengan keadilan bentuk kedua yakni  keadilan yang bersifat batin (kecenderungan hati/cinta.  Usaha untuk berlaku adil dalam membagi cinta kepada isteri-isteri inilah yang sesungguhnya sangat berat bagi seorang suami. Dan hal ini sudah bisa dipastikan tidak dapat dilakukan oleh suami untuk berlaku adil sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun  kamu  sangat  ingin  berbuat  demikian,  karena  itu  janganlah  kamu  terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan  jika  kamu  mengadakan  perbaikan  dan  memelihara  diri  (dari  kecurangan),  maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”  (QS. an-Nisa:129)

Kalau seandainya keadilan membagi cinta ini menjadi syarat yang mutlak bagi seorang suami,  maka  tertutup  hukum  kebolehan    bagi  seorang  suami  untuk  berpoligami  meskipun 

sudah berada pada kondisi yang darurat. Oleh karena sulitnya beralaku adil dalam membagi cinta,  maka  Menurut  Yusuf  Qardhawi  ini  adalah  keadilan  yang  dimaafkan  dan  diberikan toleransi, namun tidak termaafkan untuk  nafkah lahir.

Ayat ini juga dapat dipahami bahwa seorang suami yang berpoligami tidak hanya untuk berkomitmen untuk adil, karena ayat tersebut memastikaan bahwa siapa pun seorang suami tidak akan pernah bisa berbuat adil kepada isteri-isterinya, karena itu penting keharusan adanya maslahat  yang  lebih  besar  untuk  isteri-isteri  dan  anak-anaknya.  Perhatikan  bagaimana tingginya konflik berumah tangga bagi para suami yang beristeri lebih dari satu, perseteruan antar para isteri, kecemberuan buta, permusuhan antara para anak, perebutan harta waris dan dosa-dosa yang ditimbulkan akibat perilaku berpoligami. Karena itu, pikirkan kemaslahatan yang lebih penting jika melakukan poligami seperti untuk kepentingan dakwah, mendapatkan keturunan hebat, dan kemaslahatan buat seluruh anggota keluarganya. 

Contoh praktik poligami ideal adalah  Baginda Rasulullah saw  yang  selalu berusaha untuk  berlaku  adil  sampai  kepada  masalah  bepergian  dan  untuk  memenuhi  rasa  keadilan 

tersebut,  Rasulullah mengundi di  antara isteri-isterinya.  Bagi yang keluar undiannya, maka dialah yang menjadi teman pergi Rasulullah, hal ini dilakukan oleh Rasulullah supaya tidak melukai  perasaan  dan  meminta  kerelaan  dari  isteri-isteri  yang  tidak  pergi  bersama  Rosul.

Bukan hanya itu, Beliau berpoligami hanya semata untuk kepentingan dakwah sebab istri-istri yang  dinikahi  oleh  beliau  adalah  wanita-wanita  yang  sangat  memerlukan  bantuan,  lihatlah sosok wanita yang beliau nikahi semuanya adalah janda kecuali Sayidatuna ‘Aisyah r.a. 

E. Hikmah dari Poligami

Berpoligami  bagi  sebagian  orang  terkadang  tidak  terlalu  sulit  untuk  dilakukan.

Permasalahannya  adalah  tidak  mudah  untuk  berlaku  adil  dalam  memenuhi  sesuatu  yang menjadi   hak  para isteri.  Terlihat, banyak suami yang beristeri lebih dari satu tapi  sebenarnyamereka  tidak  mampu  untuk  memberikan  nafkah.  Motif  mereka  berpoligami  bukan  karenamasalah  darurat,  tapi  karena  ingin  memperturutkan  hawa  nafsu  seksual.  Kalaupun  mereka mampu memberikan nafkah namun terkadang perlakuan suami kepada isteri-isterinya banyak berlaku tidak adil dalam pemenuhan kebutuhan seperti makan, pakaian, tempat tinggal, dan  waktu bergilir.

Oleh karena itu, alasan kebolehan  berpoligami bagi sang suami dikarenakan terdapat kondisi  darurat dan syarat beraku adil  terdapat  hikmah  di dalamnya yang    Menurut  Rasyid Ridh  sedikitya terdapat empat hikmah. 

1) Untuk mendapatkan anak bagi suami yang subur dan  isteri yang mandul. 

2). Menjaga keutuhan keluarga tanpa harus mencerai isteri pertama meski ia  tidak  berfungsi  semestinya  sebagai  isteri  karena  cacat  fisik  dan  sebagainya.  

3).Untuk menyelamatkan  suami  yang  hiperseks  dari  perbuatan  free  sex.  Tercatat  di  beberapa  negara barat yang melarang poligami mengakibatkan merajalelanya praktek prostitusi dan  free sex (kumpul  kebo)  dan  lahirnya  anak-zina   yang  mencapai  jumlah  cukup  tinggi.  

4). Menyelamatkan harkat dan martabat wanita dari krisis akhlak (melacur), terutama bagi mereka yang  tinggal  di  negara  yang  jumlah  wanitanya  lebih  banyak  dibanding  laki-laki   akibat peperangan misalnya.

Sedangkan hikmah kebolehan Rasulullah beristeri lebih dari empat bukanlah karena dorongan hawa nafsu sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum orientalis, tapi mengandung hikmah yang besar, yaitu kepentingan dakwah Islam sebagaimana dikemukakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad sebagai berikut:

1.  Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Semua isteri Nabi  yang berjumlah sembilan    dapat dijadikan sumber informasi bagi umat Islam  yang hendak mengetahui ajaran-ajaran  Nabi  dan  praktek  kehidupan  beliau  dalam  berkeluarga,  bermasyarakat, terutama masalah rumah tangga.

2.  Untuk  kepentingan  politik,  yaitu  mempersatukan  suku-suku  bangsa  Arab  dan  sekaligus menarik mereka masuk Islam. Seperti perkawinan Nabi dengan Juwairiyah putri al-Harist kepala suku bani al-Musthaliq dan Shafiyah, seorang tokoh dari Bani Quiraizhah dan Bani al-Nadhir.

3.  Untuk  kepentingan  sosial  dan  kamanusiaan.  Seperti  perkawinan  beliau  dengan  janda dermawan  bernama  Khadijah  dan  janda  pahlawan  Islam  seperti  Saudah  binti  Zuma’ah 

(suaminya  meninggal  setelah  kembali  dari  hijrah  ke  Abesenia),  Hafsah  binti  Umar (suaminya gugur pada perang badar), Hindun Ummu Salamah (suaminya gugur di perang  Uhud).

Seandainya saja motif Rosul untuk nikah lebih dari satu karena dorongan sex, mungkin yang wanita yang dinikahi adalah  gadis-gadis    cantik bangsa Arab. Tapi hal itu sama sekali tidak dilakukan oleh Rasulullah tapi justru dengan Siti khadijah yang umurnya lebih tua 15 tahun dibandingkan umur beliau.  Demikian dengan    isteri-isteri beliau yang lain,  semuanya dinikahi bukan  karena tuntutan    nafsu  , tapi  bermotif  dakwah yang  ternyata motif tersebut dapat  membantu  keberhasilan  tugas  beliau  sebagai  utusann  Allah.  Dengan  demikian,  pada pernikahan Rasul terdapat  hikmah yang tinggi yang bernilai dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Argumentasi logis seperti telah tersebut dapat meruntuhkan segala tuduhan negatif yang dilontarkan oleh kaum orientalis terhadap kebolehan rasul bersiteri lebih dari satu.


F. Nikah Mut’ah

Semarak  nikah  mut’ah  atau  sering  disebut  dengan  nikah  kontrak  nampaknya  masih menghiasi kehidupan sebagian kecil masyarakat. Keprihatinan dan kehwatiran  pun muncul dari orang  tua,  tokoh  masyarakat,  pendidik  bahkan  ulama  terhadap  pernikahan  yang  terkesan “main-main” ini. Praktek nikah mut’ah seperti tersebut terjadi selain karena terdapat legitimasi dari  kelompok  yang  membolehkan,  juga  ditemukan  alasan  untuk  terhindar  dari  perzinahan demi  memenuhi  tuntutan  sex  sesaat.  Untuk  dapat  menguji  keabsahan  nikah  mut’ah  yang banyak dilakukan oleh orang  yang tinggal jauh dari  isterinya karena memenuhi tugas kerja misalnya,  bahkan  tak  luput   pelakunya  adalah   pemuda  dan  mahasiswa,  berikut  ini   akan dijelaskan duduk masalahnya.

Kata mut’ah  berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti antara lain bekal yang sedikit dan barang yang menyenangkan. Pengertian ini sejalan dengan kata  mut’ah yang terdapat  dalam  al-Quran  yang  berarti  bercampur  (bersenang-senang  bersama  istri   dengan bersenggama)  dan pemberian yang menyenangkan oleh suami kepada isterinya yang dicerai. Firman Allah swt:

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ اَوْ تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً ۖ وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya:  “Tidak  ada  kewajiban  membayar  (mahar)  atas  kamu,  jika  kamu  menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang  mampu  menurut  kemampuannya  dan  orang  yang  miskin  menurut  kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Yusuf  Qardhawi  memberikan  pengertian  nikah  mut’ah  secara  terminologi,  yaitu seorang  laki-laki  mengikat  (menikahi)  seorang  perempuan  untuk  waktu  yang  ditentukan dengan  imbalan  uang  yang  tertentu  pula.  Di  Indonesia,  kawin  mut’ah  ini  popular  dengan sebutan kawin kontrak.


Uraian  di  atas  memeberikan  gambaran  cukup  jelas  tentang  nikah  mut’ah.  Bahwa tidaklah  nikah  mut’ah  itu  dilakukan,  kecuali  kecenderungan  seseorang    untuk  memenuhi kebutuhan seksual, berakhir tanpa talaq karena  secara otomatis jika   sudah habis waktu kontrak yang  telah  ditentukan  maka  berakhirlah  riwayat  pernikahan  itu.  Dilihat  dari  penetapan pembatasan  waktu  (ta’qit)  tersebut,     pernikahan  semacam  itu  bertentangan  dengan  syariat Islam yang mmenghendaki pernikahan itu tidak terbatas oleh waktu.

Diakui,  bahwa  nikah  mut’ah  pada  zaman  Nabi  diperbolehkan  namun  tidak  berlaku untuk semua  orang hanya untuk orang tertentu dikarenakan terdapat suatu kondisi yang sangat mendesak.

Menurut  Yusuf  Qardhawi,  rahasia  diperbolehkan  nikah  mut’ah  pertama  kali  pada zaman Nabi, karena umat ketika itu berada pada “masa transisi” dari dunia Jahiliyah ke dunia 

Islam. Di mana pada zaman Jahiliyah, perzinahan merupakan budaya yang sudah menyebar luas. Ketika Islam mewajibkan kepada kaum untuk pergi berjihad, mereka merasakan sangat berat  tinggal  jauh  dengan  isteri-isteri  mereka.  Di  antara  kaum  yang  ikut  berijihad  dengan Rosulullah itu ada yang memiliki iman yang kuat dan ada yang lemah. Mereka yang lemah imannya sangat takut terjerumus ke jurang perzinahan. Sedangkan mereka yang kuat imannya bersikeras untuk menghilangkan nafsu seksnya dengan cara mengebiri, sebagaimana informasi 

Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu mas’ud:

Artinya: “Kami ikut berperang dengan Rosulullah dan istri-istri kami tidak ada di samping kami.  Kemudian  kami  bertanya  kepada  Rosulullah,  bolehkah  kami  mengebiri?  Maka Rosulullah  melarang  kami  untuk  mengebiri  dan  memberikan  keringanan  kepada  kami untuk menikahi perempuan dengan membayar imbalan untuk waktu yang ditentukan. (HR. Bukhari Muslim)

Berdasarkan keterangan di atas,  maka jelaslah bahwa kebolehan hukum nikah mut’ahpada zaman Nabi itu memiliki alasan sebagai berikut:

a.  Merupakan keringanan hukum (rukhsah) untuk memberikan jalan keluar dari problematika yang dihadapi oleh dua kelompok orang yang imannya kuat dan imannya lemah.

b.  Sebagai langkah perjalanan hukum Islam menuju ditetapkannya kehidupan rumah tangga yang sempurna untuk mewujudkan semua tujuan pernikahan yaitu  melestarikan keturunan, cinta kasih sayang dan memperluas pergaulan melalui perbesanan.

Terkait dengan hukumnya, dilihat dari prosesnya nampaknya langkah pengharaman nikah mut’ah  yang  ditempuh  oleh  Islam  dilakukan  secara  priodik  seperti  proses  pengharaman  khamar. Rosulullah memperbolehkan nikah mut’ah  dalam kondisi tertentu (darurat), kemudian Rosulullah saw mengharamkan nikah mut’ah sebagai bentuk pernikahan. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Syibrah al-Juhani “bahwasanya ia berperang bersama Rosulullah saw pada waktu  fathu  Makkah, maka Rosulullah mengizinkan mereka  untuk  melakukan  nikah  mut’ah.  Ia  berkata:   “Maka  kaum  tetap  melakukan  nikah mut’ah  itu  sampai  Rosulullah  mengharamkan  nikah  mut’ah.  Dan  dalam  redaksi  yang  lain, terdapat Hadits yang berbunyi”

Artinya:  Wahai  manusia,  aku  pernah  membolehkan  untuk  mu   melakukan  nikah  mut’ah dengan wanita kemudian Allah mengharamkan nikah  mut’ah  itu. Oleh karena itu jika masih terdapat  memiliki  wanita  yang  diperoleh  dengan  cara  nikah  mut’ah  maka  hendaknya  ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka (HR Muslim) 

Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebolehan hukum nikah mut’ah itu telah dinasakh    (dihapus hukumnya) oleh keharamnnya. Dengan demikian hukum yang berlaku sejak terjadinya penghapusan sampai sekarang dan seterusnya adalah keharaman nikah mut’ah. 

Di kalangan sahabat orang yang secara tegas mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bin Khattab, dengan lantang beliau melarang  nikah  mut’ah  serta mengancam hukuman bagi  pelakunya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah keharaman nikah mut’ah ini sudah mutlak tanpa ada  pengecualian  seperti  haramnya  menikahi  ibu  dan  anak  kandung  perempuan?  Apakah keharamannya seperti keharaman minum khamar, darah dan daging babi yang diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat? Jawabannya adalah menurut jumhur sahabat dan ulama bahwa keharaman nikah mut’ah  adalah mutlak tanpa ada pengecualian  meski dalam kondisi darurat. 

Pendapat ini diperkuat oleh fatwa  Majelis Ulama Indonesia yang secara tegas memutuskan bahwa hukum nikah itu haram karena selain dadasari oleh dalil yang kuat, selain nikah ini juga bertentangan dengan tujuan pensyariatan pernikahan. 

Nikah Mut’ah Masa Kini

Seperti telah dikemukakan di awal, nikah mut’ah saat ini masih banyak dilakukan oleh sebagaian  masyarakat  meski  mendapat  protes  yang  cukup  keras  juga.  Kecenderungan  itu muncul karena dirasakan mudah untuk dilakukan pada zaman di mana orang banyak berfikir pragmatis. Selain jika dilihat dari tabiatnya bahwa salah satu kesamaan manusia masa lampau dengan masa kini di antaranya adalah masalah nafsu seks. Ternyata dengan dalih yang sama, di masa sekarang ini praktek nikah  mut’ah  ini terjadi lagi dan bahkan ada  yang melegalkan kembali seperti yang ditetapakan oleh kelompok syiah.

Nampaknya alasan yang dikemukakan oleh orang yang membolehkan nikah mut’ah di atas  sangatlah  lemah  dan  sama  sekali  tidak  mempertimbangkan  aspek  tujuan  dari  sebuah pernikahan  yang  sesungguhnya.   Dengan  demikian  penghalalan  nikah  mut’ah  pada  masa sekarang ini dapat dikatakan bathil dan sangat mudah untuk ditolak baik secara aqli maupun  naqli:

1.  Islam menetapkan pernikahan sebagai ikatan perjanjian yang kuat. Yang dibangun atas landasan  motivasi  untuk  hubungan  yang  kekal  yang  akan  menumbuhkan  cinta,  kasih sayang  dan  ketentraman  batin  serta  menciptakan  keturunan  yang  langgeng.  Sedangkan dalam nikah  mut’ah  (kontrak) perkawinan tidak bersifat kekal, tapi dibatasi oleh waktu yang  telah  disepakati.  Dan  perceraian  kedua  pasangan  itu  secara  otomatis  dikarenakan habisnya  masa  kontrak.  Jelas  nikah  mut’ah  ini  bertentangan  dengan  prinsip  dan  tujuan nikah dalam Islam.

2.  Menghalalkan  kembali  nikah  mut’ah  berarti  langkah  mundur  dari  sesuatu  yang  telah ditetapkan  secara  sempurna  oleh  Islam.  Salah  satu  sebab  diperbolehkannya  nikah  pada zaman Nabi karena kondisi “transisi” dari Jahiliyah kepada Islam. Di mana perzinahan pada zaman Jahiliyah merupakan budaya yang sudah menyebar. Diperboehkannya nikah mut’ahketika itu sebagai langkah proses menuju pernikahan yang sempurna. Jadi nikah  mut’ahsekarang ini tidak dapat dibenarkan karena sudah disyariatkannya nikah yang sempurna.

3.  Alasan darurat untuk menghalalkan kembali nikah mut’ah  merupakan alasan yang terlalu dibuat-buat.  Sebab  alasan  darurat  diperbolehkannya  nikah  mut’ah  pada  zaman  Nabi  itu dalam  keadaan  berperang  di  mana  isteri  mereka  tinggal  berjauhan,  sulit  mereka  untuk bertemu.  Apakah  relevan  kalau  hanya  alasan  nafsu  seks  itu  dijadikan  dalih  untuk membolehkan nikah mut’ah  sekarang ini? Tentu tidak relevan  karena itu  qiyas fariq  yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

4.  Dampak negatif yang diakibatkan dari nikah mut’ah sangat merusak dimensi sosial. Sebab akibat nikah mut’ah  akan bermunculan perempuan-perempuan yang kehilangan suaminya, seakan-akan wanita dijadikan pemuas nafsu laki-laki sesaat dan akan muncul anak-anak yang  tidak  mendapatkan  kasih  sayang  ayahnya.  Hal  ini  akan  menggangu  pertumbuhan psikologis anak.

Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa nikah  mut’ahyang dibolehkan dalam Islam sudah berakhir, yaitu hanya boleh ketika zaman Nabi dengan alasan  darurat  dan  ada  hikmah  tasyri’  di  dalamnya.  Maka  tidak  ada  alasan  yang  dapat dibenarkan untuk kembali mengahalakan nikah mut’ah  sekarang ini. Hukum nikah  mut’ah  ini telah tegas keharamannya baik dilihat secara akal dan wahyu.  “Yang haram telah jelas dan yang halalpun telah jelas”.

Wallohua'lam.................................................

Pembaca yang budiman, jika Anda merasa bahwa artikel di blog ini bermanfaat, silakan bagikan ke media sosial lewat tombol share di bawah ini:
 
About - Contact Us - Sitemap - Disclaimer - Privacy Policy
Back To Top