Puasa Bulan Ramadhan ( Hukum Puasa, Hikmah Puasa, Pembatal Puasa, Dan 15 Penghilang pahala Puasa)

Puasa Bulan Ramadhan ( Hukum Puasa, Hikmah Puasa, Pembatal Puasa, Dan  15 Penghilang pahala Puasa)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda:
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله وسلم يَقُوْلُ : بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ.
(رواه البخاري و مسلم)

“Agama Islam dibangun di atas lima hal; Bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah Ta’ala dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah Ta’ala, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan.” ( Muttafaqun `alaih ). Sedangkan riwayat Muslim berbunyi; “ berpuasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.”( H.R.Bukhari Muslim)
Puasa Bulan Ramadhan ( Hukum Puasa, Hikmah Puasa, Pembatal Puasa, Dan 15 Penghilang pahala Puasa)
Adapun kaum muslimin telah sepakat tentang hukum wajibnya berpuasa pada bulan Ramadhan. Maka barangsiapa yang mengingkari akan kewajiban puasa bulan Ramadhan, maka dia murtad dan kafir. Lalu ia diminta untuk bertaubat, maka jika dia bertaubat dan menetapkan kewajiban berpuasa Ramadhan, maka taubatnya diterima. Dan jika tidak bertaubat maka dia diperangi dalam keadaan kafir.

Kewajiban berpuasa Ramadhan dimulai pada tahun kedua Hijriyah, sehingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebanyak sembilan kali di bulan Ramadhan. Dan puasa itu hukumnya wajib bagi setiap muslim, baligh dan berakal.

Orang kafir tidaklah wajib untuk berpuasa, dan jika dia berpuasa maka puasanya tidak diterima sehingga dia masuk Islam terlebih dahulu.
Demikian pula anak kecil tidak diwajibkan baginya untuk berpuasa Ramadhan hingga telah sampai waktu balighnya, yaitu bila telah genap berusia lima belas tahun, atau dengan tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan, atau dengan keluarnya air mani akibat mimpi basah atau yang sejenisnya.
Sedangkan bagi wanita ditambahkan dengan keluarnya darah haidh.
Maka jika seorang anak menjumpai salah satu dari ciri-ciri tersebut pada dirinya, maka dia dihukumi sebagai anak yang telah baligh.
Akan tetapi anak kecil boleh diperintah untuk berpuasa, jika ia mampu dan tidak memadharatkan dirinya, supaya dia terbiasa dan menjadikan mudah baginya untuk berpuasa.
Dan tidak wajib berpuasa bagi orang yang hilang akalnya disebabkan gila, atau kurang normal otaknya atau yang sejenisnya.
Maka karena itu, apabila ada seorang tua, lalu dia pikun dan tidak mampu membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk, maka tidak ada kewajiban berpuasa dan memberi makan (fakir miskin) atas dirinya.

Hukum puasa.
Puasa Ramadhan adalah kewajiban yang telah ditetapkan dalam Kitabullah yaitu Al-Qur‘an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta ijma‘(kesepakatan) kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.183

Inilah tujuan yang besar dari puasa… taqwa… taqwa yang membangunkan jiwa untuk bangkit melaksanakan perintah, ta'at kepada Allah dan lebih mementingkan ridhaNya… Taqwa itulah yang akan menjaga hati dari merusak puasa dengan perbuatan maksiat. Seluruh sasaran puasa itu hanya mungkin dicapai bila puasa dilaksanakan dengan semaksimal dan sebaik mungkin, terutama menjaga diri dari segala yang membatalkan pahala puasa


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي الله عَنْه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا (رواه البخارى/الصوم/ 1761)

Menurut Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Puasa itu adalah perisai, maka janganlah seseorang berbicara keji dan kotor, dan janganlah berbuat jahil. Jika dia dicaci maki dan diajak berkelahi oleh seseorang, hendaklah ia berkata: sesungguhnya berpuasa – sebanyak dua kali -. Demi Allah yan jiwaku di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi,(firman Allah:) dia meninggalkan makanannya, minumannya dan sahwatnya karena Aku. Puasa itu bagiKu, dan Aku yang akan membalasnya. Satu kebajikan dengan sepuluh kali lipat… (HR. Al-Bukhari)

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ184

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.



شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.

Hukum berpuasa bagi orang sakit dan musafir.

Allah Ta’ala berfirman:

“…dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada harihari yang lain. Allah Ta’ala menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas
petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. “ (QS. Al-Baqarah : 185)
Orang yang sakit terdiri atas dua kelompok:
Kelompok Pertama: Orang yang sakit terusmenerus dan tidak mungkin diharapkan kesembuhannya, misalnya orang yang sakit kanker. Maka orang tersebut tidak wajib untuk berpuasa, karena tidak
ada baginya kesempatan yang dapat diharapkan
untuk bisa melaksanakan puasa. Akan tetapi ia wajib
memberikan makanan kepada seorang miskin dari
setiap hari yang ia tinggalkan tersebut. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengumpulkan orang-orang
miskin sejumlah hari-hari yang ia tinggalkan lalu
memberikan makan malam atau makan siang kepada
mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin
Malik ketika masa tuanya. Atau, bisa juga dengan
menyerahkan makanan kepada orang-orang miskin
sejumlah hari-hari yang ia tinggalkan. Untuk satu
orang miskin sebanyak seperempat sho’ nabawi,
yaitu seberat 510 gram jika berupa gandum yang
bagus. Dan merupakan hal yang bagus apabila
ditambahkan lauk berupa daging atau minyak
bersama makanan pokok tersebut. Semisal dengan
kelompok ini adalah orang yang sudah lanjut usia
yang tidak mampu lagi untuk melaksanakan puasa.

Kelompok Kedua: Orang yang sakitnya tidak
terus-menerus dan bisa diharapkan untuk sembuh,
seperti sakit demam dan sebagainya. Kelompok ini
mempunyai tiga keadaan:
Keadaan pertama: Tidak memberatkannya
jika berpuasa dan tidak membahayakannya. Maka,
tetap wajib baginya untuk berpuasa karena tidak ada
udzur baginya.
Keadaan kedua: Memberatkannya jika berpuasa namun tidak membahayakannya. Maka,
hukumnya makruh jika ia melaksanakan puasa karena
dengan demikian ia telah meninggalkan rukhshah
(keringanan) dari Allah Ta’ala dan memberatkan diri
sendiri.
Keadaan ketiga: Membahayakan dirinya jika
ia melaksanakan puasa. Maka, haram hukumnya jika
ia melaksanakan puasa, karena hal itu akan menimbulkan kecelakaan bagi dirinya sendiri. Allah Ta’ala
telah berfirman:
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian
sendiri, sesungguhnya Allah Maha Pemurah kepada
kalian.”

Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian
sendiri ke dalam kebinasaan.”
Dan di dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh membahayakan orang lain.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al
Hakim. Imam An Nawawi berkata bahwa hadits ini
mempunyai beberapa jalan yang saling menguatkan.
Seseorang bisa mengetahui bahwa melaksanakan
puasa akan berbahaya baginya dengan perasaannya
secara langsung, dan bisa juga dengan pemberitahuan
dokter yang terpercaya. Dan setiap kali orang yang
sakit dari kelompok ini tidak melaksanakan puasa,
maka ia wajib untuk mengqadha’ hari-hari yang ia
tinggalkan tersebut jika telah sembuh dari sakitnya.
Adapun jika ia meninggal sebelum sembuh dari
sakitnya, maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ (mengganti puasa pada hari yang lain), karena
yang wajib baginya adalah mengganti puasa pada

hari-hari yang lain sedangkan ia tidak mendapatkan
hari-hari tersebut.
Adapun musafir terdiri atas dua kelompok:
Kelompok Pertama: Orang yang melakukan safar
(perjalanan jauh) dengan tujuan supaya terlepas dari
kewajiban melaksanakan puasa. Maka orang tersebut
tidak diperbolehkan meninggalkan puasa, karena
telah melakukan tipu daya untuk menghindar dari
kewajiban. Hal tersebut tidaklah menyebabkan
kewajiban tersebut gugur.
Kelompok kedua: Orang yang melakukan safar
bukan karena tujuan di atas. Kelompok ini mempunyai tiga keadaan:
Keadaan pertama: Puasa tersebut sangat
memberatkan orang yang safar. Maka dalam keadaan
ini haram hukumnya untuk melaksanakan puasa. Hal
ini dikarenakan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam perang Fathu Makkah dalam keadaan
berpuasa, datanglah berita bahwa para manusia
merasa berat dalam berpuasa dan mereka menunggu
apa yang akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
kerjakan. Lalu beliau meminta dibawakan satu wadah
berisi air. Setelah waktu ashar meminumnya,
sedangkan saat itu para sahabat melihat beliau.
Kemudian dikatakan kepada beliau: “Sesungguhnya

sebagian manusia tetap berpuasa.” Lalu beliau
bersabda:
“Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat,
mereka itu adalah orang-orang yang bermaksiat.”
(HR. Muslim)

Keadaan kedua: Puasa tersebut memberatkan
orang yang safar namun tidak sampai pada keberatan
yang sangat. Maka, hukumnya makruh jika ia
melaksanakan puasa, karena dengan melaksanakan
puasa berarti ia telah meninggalkan rukhshah
(keringanan dari Allah Ta’ala) dan memberatkan diri
sendiri.

Keadaan ketiga: Puasa tersebut tidak memberatkannya. Maka, dalam keadaan seperti ini ia
memilih yang paling ringan baginya, boleh baginya
untuk berpuasa boleh juga tidak. Allah Ta’ala
berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan atas kalian dan
tidak menghendaki kesukaran atas kalian.”
Iradah (menghendaki) yang dimaksudkan dalam
ayat ini adalah mahabbah (mencintai). Apabila antara berpuasa dengan tidak berpuasa sama-sama tidak
memberatkan, maka melaksanakan puasa adalah lebih
utama karena demikianlah yang dilaksanakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang
disebutkan dalam Shahih Muslim dari Abu Darda’,
ia berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah ! pada bulan
Ramadhan ketika hari sangat panas, hingga salah
seorang dari kami meletakkan tangannya di atas
kepalanya dikarenakan panas yang sangat. Dan tidak
ada di antara kami yang berpuasa ketika itu kecuali
Rasulullah ! dan Abdullah bin Rawahah.”
Seseorang dikatakan dalam keadaan safar (bepergian) sejak ia keluar dari daerahnya sampai ia kembali
ke daerah asalnya tersebut. Meskipun ia tinggal di
tempat tujuan safarnya beberapa waktu lamanya, ia
tetap dinamakan musafir selama ia meniatkan untuk
tidak bermukim di tempat itu setelah selesai urusannya. Oleh karena itu, ia mendapatkan
rukhshah (keringanan) bagi orang yang safar
meskipun dalam waktu yang lama. Hal ini dikarenakan tidak ada keterangan dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang batas waktu tertentu
selesainya safar. Maka pada asalnya adalah tetap
dalam kondisi safar dan diiringi dengan hukumhukum yang berkaitan dengannya sampai datang
dalil yang menunjukkan selesainya safar dan
ditiadakannya hukum-hukum yang berkaitan
dengannya.
Dan tidak ada perbedaan rukhshah, antara safar
yang datang sekali waktu saja, seperti haji, umrah,
mengunjungi karib kerabat, berdagang, dan semisalnya dengan safar yang terus menerus, seperti safarnya
pengemudi kendaraan umum (taksi), atau selainnya
seperti kendaraan-kendaraan yang besar. Kapan saja
mereka keluar dari daerahnya, maka ketika itu mereka
dalam keadaan safar, diperbolehkan bagi mereka halhal yang diperbolehkan bagi musafir lainnya, seperti
tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan mengqashar
(meringkas) shalat yang empat rakaat menjadi dua
rakaat. Demikian pula boleh menjamak (mengumpulkan) antara shalat dzuhur dengan ashar, serta
maghrib dengan isyak jika ada hajat (kebutuhan).
Tidak berpuasa ketika dalam keadaan safar tersebut adalah lebih utama jika hal itu lebih memudahkan,
kemudian mereka mengqadha’ puasa yang ditinggalkan tersebut pada musim dingin. Karena, para
pengemudi kendaraan tersebut mempunyai daerah
tempat mereka berasal. Oleh karena itu, kapan saja
berada di negeri asalnya, mereka adalah orang-orang
mukim, mereka mendapatkan hak orang-orang yang
mukim dan mendapatkan kewajiban bagi orang-orang yang mukim. Dan kapan saja mereka safar,
mereka mendapatkan hak bagi orang yang safar dan
mendapatkan kewajiban bagi orang yang safar.

Hikmah dan faidah puasa.

Di antara nama-nama Allah Ta’ala adalah AlHakim. Dan dzat yang hakim itu disifati dengan sifat hikmah. Sedangkan hikmah itu adalah bersikap bijaksana dalam urusan dan menempatkan sesuatu sesuai tempatnya.
Dan konsekuensi dari salah satu nama diantara nama-nama Allah Ta’ala ini adalah bahwa semua apa yang Dia ciptakan dan Dia syariatkan itu untuk hikmah yang agung, hal ini akan diketahui oleh orang yang mengetahuinya sedangkan orang yang jahil maka dia tidak mengetahuinya.
Adapun puasa yang telah Allah Ta’ala telah syariatkan dan wajibkan kepada hamba-Nya itu mempunyai hikmah yang agung dan mempunyai faidah yang melimpah ruah.

Di antara hikmah puasa adalah:
1. Puasa merupakan ibadah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Rabbnya, dengan meninggalkan hal-hal yang dia sukai seperti makan, minum, dan hubungan badan. Supaya dengan amalan ini ia bisa menggapai keridhaan dari Rabbnya dan mendapatkan kemenangan di negeri kemuliaan-Nya.

Maka dari itu akan menjadi jelas bagi seseorang yang mengutamakan kecintaannya kepada rabbnya daripada kecintaan terhadap dirinya sendiri, dan lebih mengutamakan negeri akhirat daripada kehidupan dunia.

2. Puasa merupakan sebab untuk meraih ketaqwaan, jika seseorang melaksanakan karena meyakini wajibnya hukum berpuasa tersebut. Allah Ta’ala
berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orangorang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS.
Al-Baqarah: 183)

Maka orang yang berpuasa itu diperintahkan agar bertaqwa kepada Allah Ta’ala, yaitu dengan menjalankan puasa semata-mata ikhlas karena-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan ini merupakan tujuan terbesar dari ibadah puasa. Dan bukanlah tujuan puasa itu untuk menyiksa orang yang berpuasa dengan meninggalkan makan, minum, dan berhubungan badan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:


“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan palsu, serta kebodohan, maka Allah Ta’ala tidak butuh kepada puasanya meski ia meninggalkan makan dan minum.” (HR Bukhari)

Ucapan palsu adalah setiap ucapan yang diharamkan, di antaranya seperti berdusta, ghibah, mencela, dan yang lainnya dari jenis ucapan-ucapan yang diharamkan.

Sedangkan perbuatan palsu adalah melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti memusuhi manusia dengan bersikap khianat, mencela, memukul badan, mengambil harta dan lain sebagainya. Dan masuk dalam kategori ini adalah mendengarkan sesuatu yang diharamkan, seperti mendengarkan nyanyian-nyanyian dan ma’azif yang diharamkan.
Al-ma’azif yaitu semua alat yang sia-sia.
Dan arti kebodohan adalah ketololan, yaitu tidak lurus  dalam ucapan dan perbuatan.

Maka apabila seorang yang berpuasa itu berjalan sesuai dengan konsekuensi dari ayat dan hadits ini, niscaya puasanya menjadi mediator untuk mentarbiyah diri pribadi dan mendidik akhlaknya, dan agar istiqamah dalam menempuhnya. Dan tidaklah dia keluar dari bulan Ramadhan itu melainkan dalam keadaan benar-benar mendapatkan dampak (pengaruh) yang dalam (dari puasanya), dimana pengaruh ini nampak pada diri, akhlak dan kehidupannya.

Termasuk dari hikmah berpuasa adalah:
1. Orang yang kaya mengetahui kadar kenikmatan yang telah Allah Ta’ala berikan kepadanya dalam bentuk kekayaan, yang mana Allah Ta’ala telah memudahkan baginya untuk mendapatkan hal yang ia inginkan dari makanan, minuman, berhubungan badan yang telah Allah Ta’ala perbolehkan menurut timbangan syar ’i, dan Allah Ta’ala juga telah memberikan kemudahan berupa kemampuan untuk mendapatkannya.

Oleh sebab itulah ia bersyukur kepada Rabbnya atas nikmat-nikmat ini. Dia akan selalu mengingat-ingat saudaranya yang fakir yang tidak mulus jalan yang ia tempuh untuk mendapat yang seperti itu. Maka ia akan mewujudkan rasa syukurnya tersebut dengan cara bershadaqah dan berbuat kebaikan.

2. Melatih untuk mengekang hawa nafsu dan mengendalikannya, hingga ia mampu menyetirnya dan mengerahkannya kepada hal-hal yang akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan baginya, baik di dunia maupun akhirat. Berpuasa juga akan menjauhkan dirinya dari menjadi sifat manusia yang berperingai seperti binatang yang tidak mampu mengekang diri dalam menuruti kelezatan syahwat, padahal dalam perbuatan ini mengandung kemaslahatan bagi dirinya.

3. Mendapat faidah kesehatan yang merupakan buah dari berhentinya makan sehingga berhenti pula pencernaan dalam jangka waktu tertentu, dan mengurangi zat-zat yang berlebihan dan zat-zat yang membahayakan terhadap tubuh atau yang lainnya.


PEMBATAL-PEMBATAL PUASA
Pembatal-pembatal puasa ada tujuh hal:
1. Jima’ (Berhubungan suami isteri) Yaitu memasukkan dzakar (kemaluan laki-laki) ke farji (kemaluan wanita). Maka, jika seorang yang berpuasa melakukan jima’, maka batal puasanya. Kemudian, jika jima’ tersebut dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan sedangkan orang yang melakukannya termasuk orang yang wajib untuk berpuasa, maka wajib baginya membayar kafarah mughalladhah, karena jeleknya apa yang ia lakukan. Kafarah tersebut adalah membebaskan seorang budak, jika tidak mendapatkan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu mengerjakannya maka memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin. Adapun jika orang yang melakukan jima’ tersebut adalah orang yang tidak
wajib untuk mengerjakan puasa, seperti musafir, maka yang wajib ia kerjakan hanyalah mengqadha’ puasanya tanpa membayar kafarah.

2. Mengeluarkan air mani karena bercumbu, mencium, atau memeluk. Adapun jika mencium dan tidak keluar air mani maka tidak mengapa.
3. Makan dan minum. Yaitu, memasukkan makanan atau minuman ke kerongkongan, baik melalui mulut atau melalui hidung, dari jenis makanan atau minuman apa saja. Dan tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa menghirup asap dupa sampai masuk ke dalam kerongkongannya, karena asap adalah suatu materi. Adapun mencium bau wewangian maka tidak mengapa.
4. Segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum, misalnya suntikan yang mengandung nutrisi makanan sehingga mencukupi dari kebutuhan makan dan minum. Adapun suntikan yang tidak mengandung nutrisi makanan maka tidak membatalkan puasa, sama saja apakah suntikan tersebut melalui otot ataupun pembuluh darah.
5. Mengeluarkan darah dengan hijamah (berbekam). Dikiaskan dalam hal ini adalah melakukan donor (menyumbangkan) darah, dan semisalnya yang memberikan pengaruh kepada badan seperti pengaruh berbekam. Adapun mengeluarkan sedikit darah untuk tes darah dan semisalnya, maka tidak membatalkan puasa karena yang demikian ini tidak menyebabkan lemahnya badan seperti pengaruh yang diakibatkan oleh hijamah.
6. Muntah dengan sengaja. Yaitu, mengeluarkan isi lambung berupa makanan atau minuman.
7. Keluarnya darah haid atau nifas.

Pembatal-pembatal puasa tersebut di atas tidaklah
menyebabkan batalnya puasa kecuali dengan tiga syarat:
1. Mengetahui hukum dan waktu.
2. Dikerjakan dalam keadaan ingat.
3. Dikerjakan tanpa keterpaksaan.

Oleh karena itu, jika seseorang berbekam sedangkan ia menyangka bahwa berbekam tersebut tidak
membatalkan puasa maka puasanya tetap sah, karena
ia mengerjakannya dalam keadaan jahil (tidak
mengetahui). Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tidak ada dosa atas kalian pada apa-apa yang
kalian tersalah padanya, akan tetapi (yang ada
dosanya) adalah apa-apa yang disengaja oleh hati-hati kalian

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengulangi puasanya. Demikian pula, jika seseorang makan karena menyangka fajar belum terbit atau menyangka matahari telah tenggelam, kemudian ternyata sangkaannya tersebut keliru maka puasanya tetap sah, karena ia tidak mengetahui waktu.

Disebutkan dalam Shahih Bukhari, dari Asma’ binti Abu Bakar, ia berkata: “(Suatu ketika) pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika keadaan langit mendung kami berbuka puasa, kemudian terlihatlah matahari.” Jikalau kasus seperti itu mewajibkan adanya qadha’, tentulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskannya, karena Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama Islam dengan diutusnya beliau. Dan jikalau Nabi ! menjelaskannya, tentulah ada nukilan dari para sahabat tentang hal itu, karena Allah Ta’ala telah menjamin untuk menjaga agama ini. Dikarenakan tidak adanya nukilan dari para sahabat, maka kita mengetahui bahwa mengqadha’ puasa dalam keadaan seperti itu bukanlah suatu kewajiban. Demikian pula, nukilan tentang hal ini (jika memang ada) adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan karena perkara ini sangat penting, maka tidak mungkin ada kelalaian dalam hal ini.

Demikian pula, jika seseorang makan dikarenakan lupa maka puasanya tidaklah batal. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Barangsiapa yang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah Ta’ala.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Dan jika seseorang dipaksa untuk makan, atau ketika berkumur-kumur kemudian masuk air ke perutnya, atau meneteskan obat tetes mata ke matanya lalu tetesan tersebut dirasakan di kerongkongannya, atau bermimpi sehingga keluar air mani darinya, maka puasanya tetap sah dalam semua keadaan tersebut dikarenakan hal itu terjadi bukan karena kesengajaannya.

Dan seseorang tidaklah batal puasanya dikarenakan bersiwak, bahkan bersiwak disunnahkan bagi
orang yang berpuasa dan selainnya pada setiap waktu, di awal siang maupun di akhirnya. Dan diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk mengerjakan apa-apa yang dapat meringankannya dari hawa yang panas dan haus, seperti mendinginkan diri dengan air dan semisalnya. Karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dahulu beliau menuangkan air ke kepalanya sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa dikarenakan haus.”

Demikian pula, Ibnu Umar pernah membasahi baju kemudian dipakainya baju tersebut sedangkan ia dalam keadaan berpuasa. Dan ini termasuk kemudahan yang Allah Ta’ala kehendaki bagi kita. Hanya milik Allah Ta’ala segala pujian dan karunia atas kenikmatan dan kemudahan-Nya.

Hal-hal yang merusak ibadah puasa/ Penghilang Pahala Puasa
1. Berbohong
2. Bersumpah Palsu
3. Ghibah yaitu membicarakan kejelekan orang lain
4. Namimah yaitu mengadu domba
5. Melihat aurat lain jenis (wanita) dengan syahwat baik secara langsung maupun dalam HP, TV, Majalah, atau lainnya
6. Marah-marah
7. Menipu
8. Mencuri
9. Riya (pamer)
10. Mencaci maki, mengumpat, dan melontarkan perkataan kotor/jelek
11. Kesaksian palsu
12. Korupsi
13. Memfitnah
14. Berbuat maksiat
15. Berpuasa tapi tidak shalat lima waktu

Awas!!!! Hindarilah perbuatan dan hal-hal di atas agar Puasa Anda tidak sia-sia dan hanya mendapatkan lapar dan dahaga..
Pembaca yang budiman, jika Anda merasa bahwa artikel di blog ini bermanfaat, silakan bagikan ke media sosial lewat tombol share di bawah ini:
 
About - Contact Us - Sitemap - Disclaimer - Privacy Policy
Back To Top